Pemerhati-ku

Selasa, 08 Maret 2011

Sebuah makam malam

Sekarang aku selalu berpikir apa yang akan aku katakan ketika sampai di dalam sana. Terus terang ini adalah pengalaman pertama bagiku dalam dunia mistik yang selalu menjadi rujukan sebagai besar masyarakat pulau ini.

Tatapan matanya setajam elang seperti biasa ketika mengajakku bicara. Dia tidak akan pernah melepaskan dari wajahku hingga aku menyatakan iya atau setuju dengan tindakan maupun ide yang selalu disampaikan kepadaku. Dan anehnya aku selalu manut laksana kerbau dicucuk hidungnya dengan tali.

Karena aku yakin semua ide dan tindakan yang dia rencanakan akan memiliki tujuan baik serta memberi arti bagi orang banyak.

“kita ke sana hanya memita ijin saja, tidak lebih. Coba kamu pikirkan, siapa yang ada di sana. Dia dulu adalah penguasa tunggal pulai ini yang dikenal sepanjang hayat sejarah sakti dan beristrikan bidadari yang setiap tahunnya meminta tumbal,” katanya saat aku berada di ruang kerjanya.

Baginya berangkat ke makam itu bertujuan sangat penting. Sebab dalam logika berpikirnya, selama ini kami, sebutlah dia, aku, kami, dan mereka itu saat ini sedang mencari makan di daerah ini. Sehingga wajar saja bila dalam tahun ke tiga ini kami merencanakan untuk berkunjung ke sana untuk meminta ijin agar kami diperkenankan mencari kehidupan di wilayah yang dulu dipimpimnya.

Tidak hanya sekedar meminta ijin, keberangkatan kita ke makam menjelang petang itu juga bertujuan untuk meminta berkah sang manta penguasa pulau ini agar dalam mencari nafkah kehidupan ini dijauhkan dari segala mara bahaya, rintangan, serta diberi kemudahaan.

“kita akan berangkat bersama dengan empat orang lainnya. Bagi saya ini adalah kedua kalinya ‘kami’ mengunjungi sesepuh penguasa wilayah untuk meminta ijin. Sebelumnya kita sudah berkunjung ke makam panembahan, dan saya rasa hasilnya sudah terlihat,” katanya menyakinkan dan aku pun mengiyahkan saja karena aku ingin merasakan pengalaman itu.

Satu lagi, sebelum aku keluar dari pintu ruang kerjanya, syarat yang harus aku pegang dan janjikan adalah jangan sampai kepergian ini disebarkan atau diceritakan kepada orang lain. Terutama yang berada dalam satu atap dan mencari kehidupan di perusahaan ini.

Singkat cerita, usai tidak adanya lagi pekerjaan yang harus diselesaikan, berangkatlah kita berlima orang dalam satu mobil. Jam menunjukkan pukul 15.00 wib saat kami bergerak ke arah timur dan sesudah lampu merah pertama berbeloklah mobil menuju gerbang yang orang sering namakan ‘menara gading’. Dari sini kami melewati jalan-jalan, yang terus terang saja belum sekalipun aku lewati, dan setelah kusadari menuju pusat makanan khas kota ini.

Lima belas menit dalam perjalanan, akhinya mobil merah itu pun berhenti di depan sebuah warung makanan khas yang setelah kusadari lagi ternyata berada tepat di sisi selatan gerbang melengkung seperti yang tadi aku lewati.

“aku harap kita menjaga segala omongan yang keluar dari mulut kita. Sebab orang ini selain terkenal sebagai orang yang hebat dalam spiritual, dia juga merupakan keturunan bangsawan yang hingga sekaranng masih dihormati masyarakat. Terutama dirimu, hormati beliau,” katanya sambil menunjuk aku.

Bagiku, perkataan yang barusan diucapkan memang wajar dan pantas dikeluarkan. Karena selama ini di atap perusahaan kami, aku terkenal paling blak-blakan dalam bicara tanpa peduli siapa yang kuhadapi. Entah itu meruapakn cacian kepada orang lain yang aku nilai salah, maupun pujian kepada rekan kerja yang dengan segala upayanya menghasilkan hasil yang terbaik. Ini adalah ciri khas daerah lahir dan besarklu.

Memasuki ruang tengah, ini adalah rumah tua yang aku duga sudah berusia ratusan tahun dan mendapatkan renovasi modern baik dari lantai maupun dindingnya, sudah terdapat beberapa orang yang lain yang kiranya mereka adalah tamu. Dalam hitunganku terdapat dua perempuan serta tiga cowok lainnya.

Kelima orang ini terlihat sangat fokus memperhatikan seorang wanita yang berada di pojok tengah mereka yang mendadak berhenti dan menyilahkan kami untuk duduk. Menanggapi sambutan dari tuan rumah, lantas kami menyapa tamu-tamu yang sudah datang duluan sambil tidak lupa menyebutkan nama. Mirip orang kenalan lah.

“terus terang saat ini saya sudah tidak merasa kebinggungan atau risau dengan material untuk menunjang kehidupan. Sebab kapanpun selalu saja ada orang atau kenalan yang dulu kita tolong mengirimkan uang dalam jumlah besar ke rekening kami tanpa diminta,” jelasnya ibu yang aku tidak ingin tahu namanya mulai bercerita di hadapan kami.

Menurutnya, selama ini kenalannya banyak yang berasal dari luar pulau dan kebanyakan mereka adalah para pejabat yang dulu saat meraih kekuasaannya meminta bantuan mereka. Selama ibu bercerita, daya pikirku menangkap satu hal yang selalu dia andalkan sebagai tanda bahwa dia adalah orang pintar, yaitu seorang pemimpin daerah di pulau borneo yang berhasil mendapatkan pendapatan daerah tertinggi seluruh negeri.

“anda pingin tahu kenapa dia bisa sukses, sebab selama masa pemilihan beliau selalu menuruti perkataan dan melaksanakan strategi yang sudah saya rencanakan bersama leluhur. Anda harus percaya bahwa kesuksesanya tidak terlepas dari usaha saya. Jika tidak percaya silahkan tanya,’ katanya sambil mempersilahkan kami meminum teh yang sudah ada di meja.

Disela-sela cerita panjangnya itu, terkadang, ibu yang seharusnya pantas aku panggi emak itu meminta suaminya yang aku lihat jauh lebih muda untuk menyiapkan segala persyaratan yang diperlukan sebelum berangkat. Baru aku tahu nama suaminya adalah Ki Sabdo Ungkoro.

Karena terus-menerus bercerita tentang kesuksesan dia membesarkan orang lain di wilayah lain. Tentu saja keisengannku pun muncul dengan mencoba melontarkan satu pertanyaan saja.

‘jika bisa menyukseskan orang diseberang, berarti peluang anda menyukseskan orang di sini lebih besar. Sudah pernah pemimpin baru di sini meminta bantuan anda?,” jelasku sambil tersenyum karena aku berpikir ini adalah pertanyaan yang mengelikan.

“ha ha ha ha, anda benar. Dan anda pun harus tahu bahwa saya malas memberi pelayanan kepada orang di sini. Tahu kenapa, sebab mereka kebanyakan tidak mau bayar atau paling meminta gratisan ke kita. Ogah aku dimintai tolong,” ujar ibu dan kemudian diikuti tawa lainnya.

Selama menunggu itulah, pembicaran selepas pertanyaan konyol itu mulai lancar dan tidak ada batasan lagi. Semua bebas bicara tentang politik, uang, hukum, demokrasi, dan tentu saja seks.

“maaf ya saya tidak bisa menemani, biar semuanya diurus sama suami saya. Meskipun dia berumur lebih muda, tapi bagi saya dia sudah tua dalam pemikiran dan ilmu. Percayalah,” ungkap perempuan bertubuh tambun itu saat kami berpamitan bergerak menuju komplek makam.

Beriring-iringan tiga mobil, kami lantas bergerak menuju ke arah selatan. Barulah di dalam mobil itu aku baru tahu, bahwa perempuan itu merupakan keturunan langsung dari raja ke enam daerah ini dan masih sangat dihormati.

Sekitar satu jam perjalanan, barulah kami memasuki area pemakaman yang dulu saat aku masih dilapangan merupakan tempat favoritku untuk menghilangkan stres dan beban pekerjaan dengan memandang jauh alam pendesaan di bawah yang hijau dan merekah. Mobil telah terparkir dengan rapi, kemudian kami pun memasuki pintu gerbang barat yang katanya dulu hanya dikhususkan untuk keluarga kerajaan.

“silahkan tuan, mau pesan seperti biasanya ya? Untuk berapa orang?” tanya salah satu penjaga warung yang dari pengamatanku sudah cukup akrap dengan ki sabdo. Usai menjawab pertanyaan itu, kami lantas dipersilahkan oleh penjaga lainnya untuk memasuki pintu gerbang pertama dari arah barat.

Kami bersepuluh dipersilahkan masuk ke dalam gapura dan memasuki salah satu rumah joglo lawas yang saling berhadapan. Kita menunggu di sini sambil menikmati makanan khas dan giliran untuk bisa sowan ke mbah, jelas ki sabdo memulai pembicaraan.

Dari mulut yang terlihat seperti sudah terlatih, sambil menikmati makanan yang datang, keluarlah berbagai kata bijak tentang bagaiaman masyarakat pulau ini seharusnya hidup. Bahwa dasarnya, kehidupan masyarakat ini tidak memerlukan nabi untuk membimbing hidup mereka untuk selalu berbuat baik. Sebab berbuat baik kepada sesama, menurutnya adalah suatu kewajaran yang wajib dilakukan semasa hidup manusia dimanapun dan kapanpun.

Berbagai petuah bijak telah keluar dari mulu orang yang mulai saat itu kami anggap sabagi salah satu guru spiritual yang memiliki tingkat ilmu yang tinggi. Meskipun kami baru sekali ini mengenalnya, menurut pandanganku.

Tapi anehnya, segala ucapan maupun perkataan yang diungkapkan langsung kami iyakan dan sekali lagi menurutku langsung dijadikan pedoman dalam melanjutkan perjalanan hidup ke depan.

Tidak terasa, sekarang sudah waktunya kami harus berganti pakaian yang diwajibkan ketika sowan di makam penguasa itu. Jam sudah menunjuukkan pukul 18.30 WIB ketika diperlihatkan alat komunikasiku ketika aku tekan tombol off.

“di kompleks makan ini, kita dilarang mengeluh maupun mengatakan sesuatu yang tidak wajar. Sebab nanti akan pamali. Dulu pernah ketika bersama seseorang naik melewati tangga, ada keluhan tentang kecapekan. Akibatnya kakinya lumpuh hingga dia meminta ampunan saat kembali ke sini lagi,” jelasnya sambil meminta kami untuk mengikuti langkag kakinya yang telanjang.

Tanpa bersuara, kami lantas berjalan beriringan mengikuti langkah ki sabdo yang lurus ke depan menembus pekat malam. Tak terhitung lagi berapa anak tangga yang harus dilewati saat melewati sekitar empat pintu gapura yang hampir sama bentuknya.

Ditengah malam langit tanpa bintang dan bulan sabit enggan bersinar sampailah kami di puncak bukit. Disanalah kiranya mantan penguasa pulau disemayamkan. Berlindung dalam sebuah rumah tua, dan dikelilingi ratusan makam lainnya.

Makamnya ibarat bulan purnama yang dikeliling ratusan bintang berpijar. Dia adalah benda yang kiranya banyak dipuja dan dihormati, meskipun kondisinya sudah tidak bergerak lagi.

Di sana, di kegelapan ruang yang diterangi sinar remang-remang, ternyata sudah ada sekelompok orang yang memiliki niatan sama dengan kami. Yaitu memuja atau meminta berkah darinya.

Lantas mulailah ritual malam itu dimulai. Ditemani angin yang senangtiasa berhembus di dalam benteng dan bulan yang enggan memberikan sinar, kami mulai melantunkan ayat-ayat suci yang sudah dilantunkan dari berabad lalu oleh masyarakat pulau ini.

Kurang lebih dua jam, kami disiksa dengan duduk bersilah. Akhirnya ritual awal ini pun berakhir dengan perasaan lega yang bagiku rasanya tak terkira. Seperti merasakan kebebasan ketika nanti keluar dari tempat gelap dan dianggap sakral ini.

Pintu utama perlahan dibuka. Satu persatu tamu yang datang dipersilahkan masuk dengan sebelumnya memberikan sembah sujud. Layaknya adat lama ketika abdi dalem menghadap sang raja.

Tibalah giliranku. Detak jantung berguncang hebat karena ini adalah yang pertama kali. Sama seperti kita akan memulai bercinta pertama kalinya dengan orang yang kita sayang.

Sembah hormat aku haturkan dengan tidak lupa meminta ijin memasuki ruang utama. Dari lorong yang sekilas itu, aku dipersilahkan memasuki ruang utama makam yang menurut perkiraanku berada di utara lorong.

Makam itu biasa saja, menurutku, sama dengan makam batu lainnya yang banyak bertebar di sekitar area itu dan kawasan daerah ini. Bedanya, di atas pusara batu hitam itu ratusan kelompak dari berbagai bunga bertabur dan menciptakan kewangian sakral tersendiri. Tidak hanya itu, baik dinding maupun atap makam itu terselimuti kain suci berwarna putih.

Usai menghaturkan apa yang semula menjadi tujuan kami berlima. Akhirnya kami dipersilahkan untuk sembah hormat kembali kepada sebuah tanah bercela yang berada di sisi kiri pusara.

Awalnya aku bertanya untuk apa ini. Meskipun banyak pertanyaan dan hampir pasti ketidak percayaan, tapi sembah hormat itu tetap aku lakukan.

Setelah hidungku dekat dengan tanah, kuhirup udara yang keluar dari cela tanah itu. Aneh wangi merasuki saluran nafaskuhingga ke dalam dadaku. Aku tak percaya.

Kuhirup lagi, hal itu terjadi lagi. Dan untuk terakhir kalinya, wangi yang muncul dari celah tanah itu masih ada dan bertambah kuat serta mengairahkanku. Karena baru pertama kali ini aku menciumnya. Semua harus diakhiri dan aku pun harus keluar dengan cara yang sama ketika masuk tadi.

“di batu pipih inilah, dulu sang penguasa pulau ini bercinta dengan penguasa laut di sisi selatan yang terkenal cantik dan mandraguna itu. Di sini pulalah sebenarnya puncak tertinggi bukit ini, karena ke arah selatan akan terlihat permukaan lautan selatan,” jelas ki sabdo sambil mengajak kami menuruni anak tangga.

Setelah berganti baju, kami pun duduk mengeliling ki sabdo seperti saat kami masuk tadi. Tidak banyak yang aku dengar dan aku perhatikan dalam wejangan yang disampaikannya. Karena aku sudah tidak fokus dan dihati sudah mulai muncul ketidak percayaan lagi.

Tiba-tiba, dia yang merupakan pimpinan dari kami mengajak pulang karena ada pekerjaan berat yang harus diselesaikan. Dan kami berlima pulang terlebih dahulu meninggalkan kelima orang lainnya mendengar wejangan ki sabdo.

“tadi adalah pengalaman sipiritualku yang mengesankan seumur hidup. Sebab tidak sembarang orang bisa masuk ke makam sana. 40 tahun hidup di sini baru pertama kali aku masuk ke sana,” jelas salah satu dari kami.

Pengalaman hebat karena baru pertama kali masuk makam besar di malam hari, itu memang benar mengesankan. Dan aku tidak pungkiri itu. Namun tidak semua orang bisa masuk. Ehm perlu dipertanyakan lagi.

Dari kantor, aku langsung bergegas pulang. Sebab sudah tidak ada lagi yang perlu dibicarakan dengan mereka. Masalah pekerjaan, itu bisa dibicarakan esok hari.

“ini pengalaman spiritual yang tidak bisa kulupakan. Dan kamu tahu, tidak sembarang orang tidak diperkenankan masuk ke dalam makam jika bukan kerabat keturunan sang penguasa,” jelasnku bersemangat menceritakan pengalaman mengesankanku itu.

Istriku pun hanya tertawa. Dia lantas menanyakan tentang tradisi jalan jongkok dari pintu gerbang pertama. Aku kaget, sebab tadi tidak ada ritual semacam itu.

“oh jadi sekarang tradisi itu sudah hilang. Berarti sekarang ritual seperti itu sudah mulai diperdagangkan segelitir orang yang mengaku kerabat keturunan mantan penguasa itu. Beda saat aku sering berkunjung saat sekolah menengah dulu,” kata istriku.

Aku terkejut mendengar perkataannya itu. Dia lantas menceritakan jika hanya masuk ke makam saja ngak usah binggung-binggung mengajak kerabat keturunan sang penguasa. Cukup kakak ipar saja sekarang di kota sebelah untuk mengantarkan.

“bukan berarti rugi memberikan sejumlah uang dalam jumlah yang tidak terlalu kecil kepada mereka. Sebab kamu dan temanmu sudah mendapatkan pengalaman spiritual yang mengesankan,” katanya sambil tersenyum dan meninggalkanku.

Selesai, 10-10-10



KAYSER SOZE

Tidak ada komentar: