Pemerhati-ku

Selasa, 17 Februari 2009

Ini adalah akhir sebuah era di bumi

Ini adalah akhir sebuah era di bumi

“Maka lewat tengah, malam ku tunggu kau di ruang tamu”
“Tapi untuk setiap pertanda itu, aku perlukan sesayat luka”

Potongan puisi itu untuk diriku adalah sebuah pertanda bahwa aku mesti hidup dan mejalani hidup dengan sendiri, tidak lebih. Mungkin kita memang lahir dari rahim seorang ibu. Tapi terus terang untuk melanjutkan hidup kita harus berusaha sendiri.

Tak kusangka kehidupan begitu berat, namun penuh makna. Kesendirian memang menganyikan namun terkadang memang membawa pesan yang penuh dengan luka yang menyayat jiwa.

Dalam hidup aku tidak ini seperti rahib. Tidak pernah bertindak dengan keingintahuan, tak pernah berjalan bersama yang tidak adil, tidak pernah merebut dengan tangan. Anehnya aku selalu berbohong, kepada diri sendiri maupun orang lain yang menemani kesendirianku.

Semua benar bahwa aku adalah pembohong. Semua sudah kujalani kehidupan ini dengan selalu berbohong hingga sampai pada suatu tingkatan sedemikian rupa. Sehingga kemungkinan besar keturunanku selalu menghasilkan berbohong. Dan kemudian aku paham, bahwa aku sekarang menjadikandiri kepada berbohong. Sehingga sulit sekali menjelaskan apa yang ada dikepalaku.

Tapi aku pernah mencoba menyampaikan dan mengatakan tentang sesuatu yang benar. Namun sia-sia, bahkan dengan wanita yang tulus aku cintai, aku tetap gagal.

“Aku menghasilkan sesuatu yang tak seorang pun percaya atau menginginkan itu aku”. Teriakki ketika kamu pergi tinggalkan aku di tengah malam sendiri.

Sekarang, yang terbaik bagiku adalah dengan menyerahkan diriku ke dalam dunai ajaib ciptaanku sendiri. Karena di sana adalah tempat paling nyaman sehingga paling tidak bisa memutuskan sendiri kejaiban-kejaiban itu.

Ketika sendiri aku selalu berpikir kematian yang dialami kita adalah sesuatu yang sangat indah. Bahkan ada orang memandang kematian sebagai titik terakhir. Namun bagiku kematian adalah sebuah hukuman yang tepat.

Dan sekarang setelah memutuskan untuk mati, aku akan mati. Biarkan aku pergi seperti yang kukatakan, dan aku akan puas, karena semakin lamu aku tinggal di sini keadaannya semakin buruk.

Sebentar, aku mau berpesan...camkan pesanku saja. Bahwa jangan percaya bahwa kita, hanya kita, yang membutuhkan Tuhan, tetapi Tuhan juga sering membutuhkan kita.

Sebagai manusai aku hanya pasrah dan tentu saja aku akan berusaha. Karena yang aku percaya, Tuhan sudah menetapkan panjang umur kita, dan kita pasrah ke kehendak-Nya. Mungkin aku akan mati besok, atau mungkin akan hidup sampai seratus tahun. Itu semua di tangan Tuhan.

Yang kuingat sekarang adalah kamu, dengan puisi aku akan selalu mengingatmu....salam

“Jejakmu di pohon-pohon purba tapi jelas.
Kuikuti jejakmu hingga ilalang panjang.
Kulukis wajahmu pada pasir putih
Yang tentu saja akan hanyut terbawa gelombang”


KAYSER SOZE