Pemerhati-ku

Jumat, 16 Maret 2012

Plagiator

Plagiator

Memulai penulisan dengan satu kata yang selalu diingatkan seorang guru ternyata sulit untuk tetap diteruskan. “Plagiator”. Satu kata, namun artinya begitu menyakitkan ketika ditujukan pada seorang sahabat yang memiliki profesi yang sama dengan saya.
Dalam dunia tulis menulis yang ditujukan untuk mendapatkan penghasilan hidup, kata yang saya katakan diatas memang haram hukumnya ketika dilakukan. Berawal dari kata “plagiat”, yang di kamus Bahasa Indonesia berarti meniru, mencontoh, atau menulis ulang karya orang lain tanpa merubah bentuk dan diakui hasil karya sendiri. Plagiat ini ternyata sudah menjadi kebudayaan kita di negeri yang penuh ironi ini.
Bukan menjelekan kondisi negeri kita yang katanya makmur ini. Namun dengan banyaknya kebudayaan yang menjadi aset negeri. Ternyata masih ada juga aset kebudayaan yang semestinya kita hilangkan. Salah satunya adalah korupsi yang sudah seperti urat nadi, tidak hanya di aparat atau pejabat, namun juga kepada masyrakat yang menginginkan hasil kerja besar tanpa kerja keras.
Plagiat ternyata juga sudah menjadi kebudayaan yang secara tidak langsung ternyata begitu tumbuh subur pada kalangan penerus bangsa. Percaya atau tidak, dengan semakin terbukanya serta kekebasan informasi dan komunikasi, budaya plagiat ternyata mendapat tempat dan sudah memasuki eranya.
Menulis dengan berbaring di depan televisi yang mati ini, aku teringat ketika masa kuliah dulu. Secara umum, meskipun sudah jaman komputer, yang artinya dengan begitu mudahnya mendapatkan berbagai informasi, literatur, serta berbagai bahan yang dibutuhkan untuk kuliah. Namun dalam penyajiannya, kami diminta untuk tidak dengan mudah melakukannya. Minimal sedikit kerja keras yang nantinya akan menghasilkan dampak positif.
Apapun dan dari manapun bahan yang dipakai tidak akan menjadi masalah, tentu saja dengan diberi catatan kaki. Namun bahan itu akan menjadi masalah ketika dalam membuat laporan tugas tidak dalam format mesin ketik lama. Bukan komputer. Bayangkan betapa melelahkan.
Selain memiliki keybord yang cukup membutuhkan tenaga di jari untuk bisa menghasilkan huruf, suara yang dihasilkan juga menjadi salah satu faktor betapa melakukan hal itu sangat melelahkan. Ini belum salah ketiki, ah menjengkelkan mungkin bagi banyak pemikiran sekarang ini.
Membutuhkan waktu memang, karena dengan mesin ketik lawas itu ketika diajarkan untuk bersabar dalam melakukan sebuah pekerjaan dan tentu saja ketelitian serta keakuratan agar luput dari banyak kesalahan. Namun inti yang saya sampaikan di sini bahwa dengan menyajikan bahan “copy” yang saya dapatkan dari berbagai sumber dengan gratis, adalah bahwa dengan menyajikan melalui mesin ketik kita dipaksa ulang membaca apa yang sudah kita dapatkan.
Dengan cara itu, ada dua sistem belajar yang hingga sekarang masih saya rasakan manfaatnya. Pertama dengan membaca ulang, maka kita akan lebih memahami apa yang ingin disampaikan oleh bahan yang kita dapatkan dan tentu saja apakah sudah sesuai dengan apa yang akan kita kerjakan.
Kedua, jikapun memang bahan-bahan yang kita butuhkan didapatkan dengan mudah di internet. Tapi kita tetap dipaksa untuk menyusun ulang setiap kata yang ingin kita laporkan dalam tugas. Sehingga bisa dipastikan tulisan atau laporan yang kita sajikan berbeda dengan laporan yang sudah dibikin oleh orang lain, meskipun sudut pandang dan referensi yang sama.
Namun melihat perkembangan sekarang, sungguh mengenaskan. Tidak sekedar di dunia musik yang mulai melakukan daur ulang lagu lawas yang mendapat tempat. Berbagai mode yang dikenankan oleh kalangan muda juga sudah sangat meniru kebudayaan orang lain. Di sana terlihat jelas, pada pelaku di industri musik terutama tidak memiliki kreatifitas maupun daya saing untuk meraih hasil yang terbaik.
Memasuki dunia tulis menulis, sebuah pesan dari seorang guru, meskipun kamu mendapatkan bahan dari rekan wartawan lainnya, saya minta tolong dilakukan perubahaan. Karena saya tidak ingin kalian hanya menjadi wartawan peniru, minimal kalian menjadi wartawan pemikir meskipun tidak banyak turun ke lapangan.
Kata-kata itu bagi saya cukup mengena. Karena dalam dunia persurat kabaran atau lebih umumnya media massa, kecederungan menjadi homogen dalam penyajian informasi kepada khalayaknya adalah kesalahan terbesar dari jajaran redaksi maupun wartawan.
Sebab dengan hadirnya begitu banyak pemain dalam bisnis media massa, logikanya masyarakat akan mendapatkan banyak begitu informasi yang beragam. Bayangkan jika informasi yang ditampilkan oleh berbagai media itu seragam, apa yang mau dibaca dan dinikmati dari media massa.\
Karena itu, untuk melawan plagiator yang selama ini marak di kalangan wartawan muda, kiranya selain kreatifitas dari yang bersangkutan, pelatihan dari jajaran managemen redaksi sangat diperlukan. Dengan pelatihan ini, selain belajar membuat sudut pandang peristiwa agar menjadi berita yang menarik, pelatihan ini juga dimaksudkan untuk menanamkan visi dan misi sebenarnya dari sebuah perusahaan pers.
Jika ini tidak dilakukan, dalam pandangan saya wartawan yang dihasilkan hanyalah wartawan peniru saja. Atau lebih ekstremnya, mereka bukan seorang wartawan yang pemikir dan kepingin tahu tentang sebuah peristiwa. Namun mereka akan juru tulis saja.
Secara pribadi, sebagai sesama penulis, untuk menjauhi dari sifat plagiator tadi. Selain terus banyak belajar, seorang wartawan pemula tentu saja harus mampu menjabarkan teori bahwa wartawan itu tahu tentang banyak hal meskipun sedikit. Bukan banyak namun sedikit hal.
Karena dengan mengetahui banyak hal meskipun hanya secuil, itu akan melatih kitauntuk terus berkreatifitas dengan berbagai bahan yang sudah ada di dalam kepala kita.
Sekian terima kasih.

KAYSER SOZE

Tidak ada komentar: