Pemerhati-ku

Jumat, 16 Maret 2012

2012

Seorang teman lama yang sudah lama berkecimpung dalam dunia tulis menulis berita dan juga seorang guru yang hebat meskipun dalam kondisi bisa dikatakan kurang sara sempat memberi nasehat yang sampai sekarang terpatri di kepala.
Tak panjang memang nasehat yang diberikan, hanya sepatah kata pendek dan diucapkan tanpa mimik serius. “Meskipun dirimu sekarang ini tidak lagi menulis, terutama berita. Tapi menulis lebih baik tetap dilakukan,” ujarnya.
Pertama saya pikir itu adalah guyonan, teman lama yang prihatin dengan kondisi saya sekarang yang sedang sekarang dan tidak produktif lagi.
Bukannya mengeluh atau tidak mensyukuri apa yang sudah diberikan kepada saya sekarang ini. Namun semenjak fokus di bidang yang sejak muda kurang bersemangat untuk menjalankan, rasanya kreatifitas, semangat menyajikan terbaik untuk orang lain terasa hilang.
Dunia kerja bagi saya sejak kecil adalah sebuah kegiatan yang dilakukan untuk tetap melanjutkan hidup dengan bergerak tiada pernah henti, tak mudah menyerah, dan penuh dengan perlawanan dari pesaing. Berubah saat harus bekerja dengan sedikit tenaga namun mampu menghasilkan banyak hasil.
Menulis, bagi saya bukan suatu perkara yang sulit. Namun menulis untuk menghasilkan sesuatu yang unik, menarik, dan tentu saja menghasilkan pendapatan bukanlah hal yang mudah. Perlu belajar banyak teori, perlu pengamatan langsung di lapangan, perlu banyak membaca, serta tidak pernah putus asa kehilangan semangat serta asa demi hasil terbaik.
Perkerjaan membuat lebih mudah dan dirasa aman daripada menjual. Padahal di lapangan, saat barang berkualitas jelek, jelas tak lakulah dia.
Ibarat kacang goreng, dengan harga murah mendapatkan dalam jumlah yang banyak serta sedikit berkualitas tentu saja akan laris dicari orang. Beda dengan produk yang dikerjakan dengan setengah saja, hasilnya tentu saja tidak maksimal untuk dijual guna mendapatkan keuntungan.
Sebuah teori baru saya terima minggu lalu dari Dahlan Iskan, CEO Jawa Pos Group. Baginya pertumbuhan surat kabar itu tidak terlepas dari dua elemen, yaitu iklan serta sirkulasi (Peredaran koran).
Dalam pandangannya, sebuah surat kabar yang hanya mengandalkan iklan saja sebagai pendapatan utama sangatlah tidak sehat. Jika iklan sudah banyak, tentu saja kualitas isi surat kabar akan dikorbankan oleh managemen karena adanya kebutuhan iklan.
Ini sangat berpengaruh kepada pelanggan yang loyal, dimana mereka pada awalnya melihat surat kabar dari kualitas isi, dan saat sadar surat kabar favorit mereka penuh iklan, mampu sudah.
Demikian juga dengan surat kabar yang hanya mengandalkan sirkulasi sebagai aspek omzet utama. Meskipun memiliki persebaran koran yang luas dari tingkat keterbacaan. Namun dengan tidak adanya pemasukkan iklan, bisa jadi omzet total untuk menutup biaya produksi akan sangat tidak cukup dari aspek ini.
Sebagai solusi utama, jika ingin dikatakan ideal dari segi pendapatkan, maka Dahlan menyarankan agar sebuah surat kabar haruslah bisa membagi aspek utama omzetnya kedalam kedua hal itu secara adil sesuai kemampuan. Imbangnya adalah 60:40 untuk iklan dibanding sirkulasi.
Kenapa harus seperti itu. Dengan gamblang Dahlan mengambarkan, ketika sebuah surat kabar dalam kondisi pendapatan iklannya lebih kecil dibandingkan dengan target yang sudah ditentukan. Maka yang pertama kali disalahkan adalah tim sirkulasi. Sebab dengan tidak adanya persebaran koran tidak maksimal, maka hal itu tidak bisa disampaikan ke klien yang dituju.
Jikapun nantinya iklan sudah melebih target pendapatan, maka hal itu perlu mendapatkan kewaspadaan extras. Seperti tadi di atas, ketika ruang berita dipenuhi dengan ruang berita, maka dipastikan pelanggan loyal akan berpindah ke surat kabar yang lebih mementingkan kualitas berita.
Lantas dalam kondisi ini bagaimanakan kedudukan dari sirkulasi. Sama seperti iklan, jika nantinya sirkulasi tidak bisa memenuhi target omzet yang sudah ditetapkan, maka seharusnyalah mereka menyalahka redaksi.
Kenapa? Sebab tanpa adanya kualitas berita serta tampilan yang menarik, maka sebuah surat kabar tidak akan memiliki nilai jual di pasaran. Sehingga sangatlah wajar, jika dalam hubungan ini divisi produksi yang memegang peranan utama dalam keberlangsungan surat kabar.
Namun bagaimana jika dalam beberapa kurun periode pendapatkan iklan masih melebihi dari target dan sirkulasi tidak berkembang seperti harapan. Maka salah satu yang wajib dilakukan managemen adalah mempergunakan kelebihan pendapatan iklan untuk melakukan pembenahan di bagian redaksi. Entah dengan memberi pelatihan intensif atau lainnya, yang bertujuan mampu menyajikan berita dan tampilan surat kabar yang memiliki nilai jual.
Bagi Dahlan, skema seperti ini sangat ideal diterapkan di berbagai macam surat kabar di Indonesia yang lebih banyak dikelola secara perseorangan atau keluarga besar. Berbeda dengan surat kabar kondisi di luar negeri, terutama di Eropa dan Amerika.
Di kedua benua maju itu, kepemilikan surat kabar sudah dijual dalam bentuk saham. Sehingga ketika terjadi penurunan kualitas berita yang berujung pada penurunan pelanggan serta pendapatkan iklan, maka untuk mengenjot penambahan modal saham yang sudah ada dilempar ke pasar modal dengan harga yang lebih murah.
Akibatnya, ketika saham yang berbandrol murah tidak lagi diminati investor maka surat kabar yang bersangkutan sudah bisa dipastikan bangkrut serta hanya akan bertempur sengit di dunia maya yang sekarang ini berkembang pesat.
Apa yang saya sajikan di atas kiranya persis seperti apa terjadi sekarang ini. Dengan tingkat persaingan surat kabar yang begitu kompleks di Jogja, maka mau tidak mau divisi produksi dituntut lebih bekerja keras untuk menghasilkan produk yang mampu bersaing.
Segentol-gentolnya tim pemasar, sirkulasi, maupun promosi melakukan tugas utama mereka, namun jika produk yang dihasilkan tidak bisa memberikan nilai jual bisa dipastikan semua itu sia-sia.
Bukannya saling menyalahkan dalam kondisi yang begitu tertekan ini. Namun dengan kepala terbuka, apa yang saya tulis diatas itu memang ada benarnya dan bisa dilakukan demi mendapatkan suatu yang selama ini kita harapkan.
Terus terang, selama kuliah saya tidak pernah mendapatkan ilmu untuk memasarkan surat kabar. Dimanapun, pembelajaran mengenai ilmu komunikasi, terutama jurnalistik, lebih banyak berbicara tentang pembuatan produk yang berkualitas dan layak jual.
Jika sudah tercipta produk yang berkualitas dan dicari orang, maka sangatlah cepat produk tersebut dicari orang untuk selanjutnya menjadi referensi dan kebutuhan utama mencari informasi.
Ini hanya gambaran awal tentang perkembangan awal tentang media yang kemarin saya pelajari. Semoga bermanfaat.


KAYSER SOZE

Tidak ada komentar: