Plagiator
Memulai penulisan dengan satu kata yang selalu diingatkan seorang guru ternyata sulit untuk tetap diteruskan. “Plagiator”. Satu kata, namun artinya begitu menyakitkan ketika ditujukan pada seorang sahabat yang memiliki profesi yang sama dengan saya.
Dalam dunia tulis menulis yang ditujukan untuk mendapatkan penghasilan hidup, kata yang saya katakan diatas memang haram hukumnya ketika dilakukan. Berawal dari kata “plagiat”, yang di kamus Bahasa Indonesia berarti meniru, mencontoh, atau menulis ulang karya orang lain tanpa merubah bentuk dan diakui hasil karya sendiri. Plagiat ini ternyata sudah menjadi kebudayaan kita di negeri yang penuh ironi ini.
Bukan menjelekan kondisi negeri kita yang katanya makmur ini. Namun dengan banyaknya kebudayaan yang menjadi aset negeri. Ternyata masih ada juga aset kebudayaan yang semestinya kita hilangkan. Salah satunya adalah korupsi yang sudah seperti urat nadi, tidak hanya di aparat atau pejabat, namun juga kepada masyrakat yang menginginkan hasil kerja besar tanpa kerja keras.
Plagiat ternyata juga sudah menjadi kebudayaan yang secara tidak langsung ternyata begitu tumbuh subur pada kalangan penerus bangsa. Percaya atau tidak, dengan semakin terbukanya serta kekebasan informasi dan komunikasi, budaya plagiat ternyata mendapat tempat dan sudah memasuki eranya.
Menulis dengan berbaring di depan televisi yang mati ini, aku teringat ketika masa kuliah dulu. Secara umum, meskipun sudah jaman komputer, yang artinya dengan begitu mudahnya mendapatkan berbagai informasi, literatur, serta berbagai bahan yang dibutuhkan untuk kuliah. Namun dalam penyajiannya, kami diminta untuk tidak dengan mudah melakukannya. Minimal sedikit kerja keras yang nantinya akan menghasilkan dampak positif.
Apapun dan dari manapun bahan yang dipakai tidak akan menjadi masalah, tentu saja dengan diberi catatan kaki. Namun bahan itu akan menjadi masalah ketika dalam membuat laporan tugas tidak dalam format mesin ketik lama. Bukan komputer. Bayangkan betapa melelahkan.
Selain memiliki keybord yang cukup membutuhkan tenaga di jari untuk bisa menghasilkan huruf, suara yang dihasilkan juga menjadi salah satu faktor betapa melakukan hal itu sangat melelahkan. Ini belum salah ketiki, ah menjengkelkan mungkin bagi banyak pemikiran sekarang ini.
Membutuhkan waktu memang, karena dengan mesin ketik lawas itu ketika diajarkan untuk bersabar dalam melakukan sebuah pekerjaan dan tentu saja ketelitian serta keakuratan agar luput dari banyak kesalahan. Namun inti yang saya sampaikan di sini bahwa dengan menyajikan bahan “copy” yang saya dapatkan dari berbagai sumber dengan gratis, adalah bahwa dengan menyajikan melalui mesin ketik kita dipaksa ulang membaca apa yang sudah kita dapatkan.
Dengan cara itu, ada dua sistem belajar yang hingga sekarang masih saya rasakan manfaatnya. Pertama dengan membaca ulang, maka kita akan lebih memahami apa yang ingin disampaikan oleh bahan yang kita dapatkan dan tentu saja apakah sudah sesuai dengan apa yang akan kita kerjakan.
Kedua, jikapun memang bahan-bahan yang kita butuhkan didapatkan dengan mudah di internet. Tapi kita tetap dipaksa untuk menyusun ulang setiap kata yang ingin kita laporkan dalam tugas. Sehingga bisa dipastikan tulisan atau laporan yang kita sajikan berbeda dengan laporan yang sudah dibikin oleh orang lain, meskipun sudut pandang dan referensi yang sama.
Namun melihat perkembangan sekarang, sungguh mengenaskan. Tidak sekedar di dunia musik yang mulai melakukan daur ulang lagu lawas yang mendapat tempat. Berbagai mode yang dikenankan oleh kalangan muda juga sudah sangat meniru kebudayaan orang lain. Di sana terlihat jelas, pada pelaku di industri musik terutama tidak memiliki kreatifitas maupun daya saing untuk meraih hasil yang terbaik.
Memasuki dunia tulis menulis, sebuah pesan dari seorang guru, meskipun kamu mendapatkan bahan dari rekan wartawan lainnya, saya minta tolong dilakukan perubahaan. Karena saya tidak ingin kalian hanya menjadi wartawan peniru, minimal kalian menjadi wartawan pemikir meskipun tidak banyak turun ke lapangan.
Kata-kata itu bagi saya cukup mengena. Karena dalam dunia persurat kabaran atau lebih umumnya media massa, kecederungan menjadi homogen dalam penyajian informasi kepada khalayaknya adalah kesalahan terbesar dari jajaran redaksi maupun wartawan.
Sebab dengan hadirnya begitu banyak pemain dalam bisnis media massa, logikanya masyarakat akan mendapatkan banyak begitu informasi yang beragam. Bayangkan jika informasi yang ditampilkan oleh berbagai media itu seragam, apa yang mau dibaca dan dinikmati dari media massa.\
Karena itu, untuk melawan plagiator yang selama ini marak di kalangan wartawan muda, kiranya selain kreatifitas dari yang bersangkutan, pelatihan dari jajaran managemen redaksi sangat diperlukan. Dengan pelatihan ini, selain belajar membuat sudut pandang peristiwa agar menjadi berita yang menarik, pelatihan ini juga dimaksudkan untuk menanamkan visi dan misi sebenarnya dari sebuah perusahaan pers.
Jika ini tidak dilakukan, dalam pandangan saya wartawan yang dihasilkan hanyalah wartawan peniru saja. Atau lebih ekstremnya, mereka bukan seorang wartawan yang pemikir dan kepingin tahu tentang sebuah peristiwa. Namun mereka akan juru tulis saja.
Secara pribadi, sebagai sesama penulis, untuk menjauhi dari sifat plagiator tadi. Selain terus banyak belajar, seorang wartawan pemula tentu saja harus mampu menjabarkan teori bahwa wartawan itu tahu tentang banyak hal meskipun sedikit. Bukan banyak namun sedikit hal.
Karena dengan mengetahui banyak hal meskipun hanya secuil, itu akan melatih kitauntuk terus berkreatifitas dengan berbagai bahan yang sudah ada di dalam kepala kita.
Sekian terima kasih.
KAYSER SOZE
SEBUAH PILIHAN UNTUK MELAKUKAN APA YANG TIDAK DILAKUKAN OLEH ORANG LAIN....DAN AKU MAMPU
Pemerhati-ku
Jumat, 16 Maret 2012
Tetap nyata
Memiliki sebuah pandangan tentang hidup dan ketenangan yang pasti akan mati, nyatanya tetap membuat kita berada dalam jalur yang benar menempuh sisa hidup kita.
Sederhana saja. Kita seperti sebuah modul, yang terlihat begitu mudah dilakukan saat dibaca, namun nyatanya tetap saja kita menemui kesulitan yang terkadang mematahkan semangat hidup kita. Rasanya ketika kita berada pada sebuah amplitudo yang paling rendang, kita seperti mati.
Aku pernah membaca sebuah potongan kalimat yang memang mengambarkan diriku sebenarnya. Bahwa saat kita akan memulai sesuatu yang penting dan begitu panjang prosesnya dalam hidup kita, yang pertama mesti kita lakukan adalah melangkah kecil ke depan. Jikapun ada niat yang tulus serta penuh, langkah selanjutnya menuju tujuan mudah saja dilakukan.
Ini hanya teori yang kau pikir. Namun memang itu benar adanya untuk tetap menjadi acuan dalam hidup.
Menikmati pepaya dalam irisan kecil-kecil yang menimbulkan rasa manis di mulut rasanya tulisan ini tidak akan jadi bentuk yang indah. Tanpa kipas yang menantap kita, dia terlihat congkak dengan mengdongak, tapi tetap saja dia memberi arti walaupun sedikit.
Nenas malam ini tidak bisa tidur karena kepanasana. Langit di luar malam ini dalam kondisi sedikit mendung dan hanya memberi sedikit kesempatan pada beberapa bintang untuk tetap memberikan redup sinarnya.
Kembali lagi ke rumus teori tentang melakukan sesuatu yang sudah aku bilang diatas tadi. Untuk pekerjaan yang lain rasanya hal itu sangat berarti karena membuat saya secara pribadi menjadi lebih optimisi dan percaya diri. Tapi untuk urusan yang satu ini, saya mengaku lebih suka mengangkat tangan.
Cerpen alias cerita pendek adalah karya sastra favorit saya. Saya tidak ingat entah berapa puluh ribu cerpen baik yang sudah dicetak di buku atau koran-koran mingguan yang sudah saya lahap habis.
Ceritanya hanya adalah satu teman dan itu pun langsung habis dalam sekali tempo baca. Tidak membutuhkan banyak waktu untuk membaca serta mengenali pesan apa yang ingin penulis sampaikan pada pembacanya.
Lalu jika kau menyukai cerpen kenapa tidak bikin cerpenmu sendiri? Itu mungkin pertanyaan yang kau ajukan kepadaku jika aku menceritakan tentang favorit bacaanku. Terus terang, aku menemui kesulitan untuk menjelaskan dari mana aku harus memulai.
Ini rasanya seperti pertama kali kita bertemu dan berkenalan dengan orang yang bagi kita begitu menarik serta tertantang menaklukannya. Darah naik ke semua saluran meskipun tidak mengakibatkan munculnya keringat dingin, dan jatung terus berdenyut keras tanpa bisa menghentikannya. Begitu pula yang aku rasakan saat akan memulai membuat sebuat cerpen.
Aku tidak pernah kehabisan ide untuk cerpen yang nantinya aku buat. Aku Cuma tidak memiliki keberanian untuk memulai menuliskan satu kalimat pembuka. Karena ketakukan, saat kata pertama sudah tertulis, dan kau tidak menemukan kata yang tepat untuk melanjutkan kalimat itu, maka artinya kau bisa dikategorikan gagal.
Kalimatku terhenti pada tangisan pertamanya yang mengetarkan dunia. Ini yang dulu aku tulis pada awal kehadirannya. Namun hanya satu kalimat itu saja dan aku tidak bisa melanjutkan lagi apa yang nantinya akan menjadi sambungannya. Ibarat kereta, aku kehilangan pegangan dan hanya bisa terhenti di stasiun tua ini, tanpa kawan, tanpa penumpang, dan hanya dilintasi waktu serta laju teman yang lain.
Kau tahu kawan, hanya itu yang aku bisa saat kau tantang aku lebih jauh dalam dunia sastra. Aku penuh ide, namun tidak bisa dengan mudah menemukan jalan untuk merangkainya. Karena itu hingga sampai sekarang ini aku lebih suka mencurahkan ide-ideku dalam berbagai puisi.
Tidak panjang dan berbelit puisi yang aku ciptakan. Aku hanya terfokus pada makna dan keindahan kata serta pepadanan. Artinya, jika satu kata tidak serasi atau sepadan dengan kata berikutnya,maka aku akan terhenti serta berpikir untuk mengantinya dengan kata yang lain.
Mirip Chairil Anwarlah pola pikir yang aku suka. Tidak merunut ejaan bahasa yang benar, namun indah dan penuh makna saat dibacanya.
Salam.....
Dari sang Pengali Pasir
Fakir, itu dekat sekali dengan kafir. Hanya ada dua pilihan bagi kita yang tergolong miskin ini, syukur atau kufur.
Kalau kita selalu penuh dengan syukur, apapun kondisi yang kita yang kita terima, maka derajat kita akan lebih tinggi dibanding orang-orang kaya yang pandai bersykuru.
Tapi, kalau kita kufur, derajat kita akan lebih rendah daripada orang kaya yang kufur.
KAYSER SOZE
Sederhana saja. Kita seperti sebuah modul, yang terlihat begitu mudah dilakukan saat dibaca, namun nyatanya tetap saja kita menemui kesulitan yang terkadang mematahkan semangat hidup kita. Rasanya ketika kita berada pada sebuah amplitudo yang paling rendang, kita seperti mati.
Aku pernah membaca sebuah potongan kalimat yang memang mengambarkan diriku sebenarnya. Bahwa saat kita akan memulai sesuatu yang penting dan begitu panjang prosesnya dalam hidup kita, yang pertama mesti kita lakukan adalah melangkah kecil ke depan. Jikapun ada niat yang tulus serta penuh, langkah selanjutnya menuju tujuan mudah saja dilakukan.
Ini hanya teori yang kau pikir. Namun memang itu benar adanya untuk tetap menjadi acuan dalam hidup.
Menikmati pepaya dalam irisan kecil-kecil yang menimbulkan rasa manis di mulut rasanya tulisan ini tidak akan jadi bentuk yang indah. Tanpa kipas yang menantap kita, dia terlihat congkak dengan mengdongak, tapi tetap saja dia memberi arti walaupun sedikit.
Nenas malam ini tidak bisa tidur karena kepanasana. Langit di luar malam ini dalam kondisi sedikit mendung dan hanya memberi sedikit kesempatan pada beberapa bintang untuk tetap memberikan redup sinarnya.
Kembali lagi ke rumus teori tentang melakukan sesuatu yang sudah aku bilang diatas tadi. Untuk pekerjaan yang lain rasanya hal itu sangat berarti karena membuat saya secara pribadi menjadi lebih optimisi dan percaya diri. Tapi untuk urusan yang satu ini, saya mengaku lebih suka mengangkat tangan.
Cerpen alias cerita pendek adalah karya sastra favorit saya. Saya tidak ingat entah berapa puluh ribu cerpen baik yang sudah dicetak di buku atau koran-koran mingguan yang sudah saya lahap habis.
Ceritanya hanya adalah satu teman dan itu pun langsung habis dalam sekali tempo baca. Tidak membutuhkan banyak waktu untuk membaca serta mengenali pesan apa yang ingin penulis sampaikan pada pembacanya.
Lalu jika kau menyukai cerpen kenapa tidak bikin cerpenmu sendiri? Itu mungkin pertanyaan yang kau ajukan kepadaku jika aku menceritakan tentang favorit bacaanku. Terus terang, aku menemui kesulitan untuk menjelaskan dari mana aku harus memulai.
Ini rasanya seperti pertama kali kita bertemu dan berkenalan dengan orang yang bagi kita begitu menarik serta tertantang menaklukannya. Darah naik ke semua saluran meskipun tidak mengakibatkan munculnya keringat dingin, dan jatung terus berdenyut keras tanpa bisa menghentikannya. Begitu pula yang aku rasakan saat akan memulai membuat sebuat cerpen.
Aku tidak pernah kehabisan ide untuk cerpen yang nantinya aku buat. Aku Cuma tidak memiliki keberanian untuk memulai menuliskan satu kalimat pembuka. Karena ketakukan, saat kata pertama sudah tertulis, dan kau tidak menemukan kata yang tepat untuk melanjutkan kalimat itu, maka artinya kau bisa dikategorikan gagal.
Kalimatku terhenti pada tangisan pertamanya yang mengetarkan dunia. Ini yang dulu aku tulis pada awal kehadirannya. Namun hanya satu kalimat itu saja dan aku tidak bisa melanjutkan lagi apa yang nantinya akan menjadi sambungannya. Ibarat kereta, aku kehilangan pegangan dan hanya bisa terhenti di stasiun tua ini, tanpa kawan, tanpa penumpang, dan hanya dilintasi waktu serta laju teman yang lain.
Kau tahu kawan, hanya itu yang aku bisa saat kau tantang aku lebih jauh dalam dunia sastra. Aku penuh ide, namun tidak bisa dengan mudah menemukan jalan untuk merangkainya. Karena itu hingga sampai sekarang ini aku lebih suka mencurahkan ide-ideku dalam berbagai puisi.
Tidak panjang dan berbelit puisi yang aku ciptakan. Aku hanya terfokus pada makna dan keindahan kata serta pepadanan. Artinya, jika satu kata tidak serasi atau sepadan dengan kata berikutnya,maka aku akan terhenti serta berpikir untuk mengantinya dengan kata yang lain.
Mirip Chairil Anwarlah pola pikir yang aku suka. Tidak merunut ejaan bahasa yang benar, namun indah dan penuh makna saat dibacanya.
Salam.....
Dari sang Pengali Pasir
Fakir, itu dekat sekali dengan kafir. Hanya ada dua pilihan bagi kita yang tergolong miskin ini, syukur atau kufur.
Kalau kita selalu penuh dengan syukur, apapun kondisi yang kita yang kita terima, maka derajat kita akan lebih tinggi dibanding orang-orang kaya yang pandai bersykuru.
Tapi, kalau kita kufur, derajat kita akan lebih rendah daripada orang kaya yang kufur.
KAYSER SOZE
Gambaran keinginan
Seorang teman lama yang sudah lama berkecimpung dalam dunia tulis menulis berita dan juga seorang guru yang hebat meskipun dalam kondisi bisa dikatakan kurang sara sempat memberi nasehat yang sampai sekarang terpatri di kepala.
Tak panjang memang nasehat yang diberikan, hanya sepatah kata pendek dan diucapkan tanpa mimik serius. “Meskipun dirimu sekarang ini tidak lagi menulis, terutama berita. Tapi menulis lebih baik tetap dilakukan,” ujarnya.
Pertama saya pikir itu adalah guyonan, teman lama yang prihatin dengan kondisi saya sekarang yang sedang sekarang dan tidak produktif lagi.
Bukannya mengeluh atau tidak mensyukuri apa yang sudah diberikan kepada saya sekarang ini. Namun semenjak fokus di bidang yang sejak muda kurang bersemangat untuk menjalankan, rasanya kreatifitas, semangat menyajikan terbaik untuk orang lain terasa hilang.
Dunia kerja bagi saya sejak kecil adalah sebuah kegiatan yang dilakukan untuk tetap melanjutkan hidup dengan bergerak tiada pernah henti, tak mudah menyerah, dan penuh dengan perlawanan dari pesaing. Berubah saat harus bekerja dengan sedikit tenaga namun mampu menghasilkan banyak hasil.
Menulis, bagi saya bukan suatu perkara yang sulit. Namun menulis untuk menghasilkan sesuatu yang unik, menarik, dan tentu saja menghasilkan pendapatan bukanlah hal yang mudah. Perlu belajar banyak teori, perlu pengamatan langsung di lapangan, perlu banyak membaca, serta tidak pernah putus asa kehilangan semangat serta asa demi hasil terbaik.
Perkerjaan membuat lebih mudah dan dirasa aman daripada menjual. Padahal di lapangan, saat barang berkualitas jelek, jelas tak lakulah dia.
Ibarat kacang goreng, dengan harga murah mendapatkan dalam jumlah yang banyak serta sedikit berkualitas tentu saja akan laris dicari orang. Beda dengan produk yang dikerjakan dengan setengah saja, hasilnya tentu saja tidak maksimal untuk dijual guna mendapatkan keuntungan.
Sebuah teori baru saya terima minggu lalu dari Dahlan Iskan, CEO Jawa Pos Group. Baginya pertumbuhan surat kabar itu tidak terlepas dari dua elemen, yaitu iklan serta sirkulasi (Peredaran koran).
Dalam pandangannya, sebuah surat kabar yang hanya mengandalkan iklan saja sebagai pendapatan utama sangatlah tidak sehat. Jika iklan sudah banyak, tentu saja kualitas isi surat kabar akan dikorbankan oleh managemen karena adanya kebutuhan iklan.
Ini sangat berpengaruh kepada pelanggan yang loyal, dimana mereka pada awalnya melihat surat kabar dari kualitas isi, dan saat sadar surat kabar favorit mereka penuh iklan, mampu sudah.
Demikian juga dengan surat kabar yang hanya mengandalkan sirkulasi sebagai aspek omzet utama. Meskipun memiliki persebaran koran yang luas dari tingkat keterbacaan. Namun dengan tidak adanya pemasukkan iklan, bisa jadi omzet total untuk menutup biaya produksi akan sangat tidak cukup dari aspek ini.
Sebagai solusi utama, jika ingin dikatakan ideal dari segi pendapatkan, maka Dahlan menyarankan agar sebuah surat kabar haruslah bisa membagi aspek utama omzetnya kedalam kedua hal itu secara adil sesuai kemampuan. Imbangnya adalah 60:40 untuk iklan dibanding sirkulasi.
Kenapa harus seperti itu. Dengan gamblang Dahlan mengambarkan, ketika sebuah surat kabar dalam kondisi pendapatan iklannya lebih kecil dibandingkan dengan target yang sudah ditentukan. Maka yang pertama kali disalahkan adalah tim sirkulasi. Sebab dengan tidak adanya persebaran koran tidak maksimal, maka hal itu tidak bisa disampaikan ke klien yang dituju.
Jikapun nantinya iklan sudah melebih target pendapatan, maka hal itu perlu mendapatkan kewaspadaan extras. Seperti tadi di atas, ketika ruang berita dipenuhi dengan ruang berita, maka dipastikan pelanggan loyal akan berpindah ke surat kabar yang lebih mementingkan kualitas berita.
Lantas dalam kondisi ini bagaimanakan kedudukan dari sirkulasi. Sama seperti iklan, jika nantinya sirkulasi tidak bisa memenuhi target omzet yang sudah ditetapkan, maka seharusnyalah mereka menyalahka redaksi.
Kenapa? Sebab tanpa adanya kualitas berita serta tampilan yang menarik, maka sebuah surat kabar tidak akan memiliki nilai jual di pasaran. Sehingga sangatlah wajar, jika dalam hubungan ini divisi produksi yang memegang peranan utama dalam keberlangsungan surat kabar.
Namun bagaimana jika dalam beberapa kurun periode pendapatkan iklan masih melebihi dari target dan sirkulasi tidak berkembang seperti harapan. Maka salah satu yang wajib dilakukan managemen adalah mempergunakan kelebihan pendapatan iklan untuk melakukan pembenahan di bagian redaksi. Entah dengan memberi pelatihan intensif atau lainnya, yang bertujuan mampu menyajikan berita dan tampilan surat kabar yang memiliki nilai jual.
Bagi Dahlan, skema seperti ini sangat ideal diterapkan di berbagai macam surat kabar di Indonesia yang lebih banyak dikelola secara perseorangan atau keluarga besar. Berbeda dengan surat kabar kondisi di luar negeri, terutama di Eropa dan Amerika.
Di kedua benua maju itu, kepemilikan surat kabar sudah dijual dalam bentuk saham. Sehingga ketika terjadi penurunan kualitas berita yang berujung pada penurunan pelanggan serta pendapatkan iklan, maka untuk mengenjot penambahan modal saham yang sudah ada dilempar ke pasar modal dengan harga yang lebih murah.
Akibatnya, ketika saham yang berbandrol murah tidak lagi diminati investor maka surat kabar yang bersangkutan sudah bisa dipastikan bangkrut serta hanya akan bertempur sengit di dunia maya yang sekarang ini berkembang pesat.
Apa yang saya sajikan di atas kiranya persis seperti apa terjadi sekarang ini. Dengan tingkat persaingan surat kabar yang begitu kompleks di Jogja, maka mau tidak mau divisi produksi dituntut lebih bekerja keras untuk menghasilkan produk yang mampu bersaing.
Segentol-gentolnya tim pemasar, sirkulasi, maupun promosi melakukan tugas utama mereka, namun jika produk yang dihasilkan tidak bisa memberikan nilai jual bisa dipastikan semua itu sia-sia.
Bukannya saling menyalahkan dalam kondisi yang begitu tertekan ini. Namun dengan kepala terbuka, apa yang saya tulis diatas itu memang ada benarnya dan bisa dilakukan demi mendapatkan suatu yang selama ini kita harapkan.
Terus terang, selama kuliah saya tidak pernah mendapatkan ilmu untuk memasarkan surat kabar. Dimanapun, pembelajaran mengenai ilmu komunikasi, terutama jurnalistik, lebih banyak berbicara tentang pembuatan produk yang berkualitas dan layak jual.
Jika sudah tercipta produk yang berkualitas dan dicari orang, maka sangatlah cepat produk tersebut dicari orang untuk selanjutnya menjadi referensi dan kebutuhan utama mencari informasi.
Ini hanya gambaran awal tentang perkembangan awal tentang media yang kemarin saya pelajari. Semoga bermanfaat.
KAYSER SOZE
Tak panjang memang nasehat yang diberikan, hanya sepatah kata pendek dan diucapkan tanpa mimik serius. “Meskipun dirimu sekarang ini tidak lagi menulis, terutama berita. Tapi menulis lebih baik tetap dilakukan,” ujarnya.
Pertama saya pikir itu adalah guyonan, teman lama yang prihatin dengan kondisi saya sekarang yang sedang sekarang dan tidak produktif lagi.
Bukannya mengeluh atau tidak mensyukuri apa yang sudah diberikan kepada saya sekarang ini. Namun semenjak fokus di bidang yang sejak muda kurang bersemangat untuk menjalankan, rasanya kreatifitas, semangat menyajikan terbaik untuk orang lain terasa hilang.
Dunia kerja bagi saya sejak kecil adalah sebuah kegiatan yang dilakukan untuk tetap melanjutkan hidup dengan bergerak tiada pernah henti, tak mudah menyerah, dan penuh dengan perlawanan dari pesaing. Berubah saat harus bekerja dengan sedikit tenaga namun mampu menghasilkan banyak hasil.
Menulis, bagi saya bukan suatu perkara yang sulit. Namun menulis untuk menghasilkan sesuatu yang unik, menarik, dan tentu saja menghasilkan pendapatan bukanlah hal yang mudah. Perlu belajar banyak teori, perlu pengamatan langsung di lapangan, perlu banyak membaca, serta tidak pernah putus asa kehilangan semangat serta asa demi hasil terbaik.
Perkerjaan membuat lebih mudah dan dirasa aman daripada menjual. Padahal di lapangan, saat barang berkualitas jelek, jelas tak lakulah dia.
Ibarat kacang goreng, dengan harga murah mendapatkan dalam jumlah yang banyak serta sedikit berkualitas tentu saja akan laris dicari orang. Beda dengan produk yang dikerjakan dengan setengah saja, hasilnya tentu saja tidak maksimal untuk dijual guna mendapatkan keuntungan.
Sebuah teori baru saya terima minggu lalu dari Dahlan Iskan, CEO Jawa Pos Group. Baginya pertumbuhan surat kabar itu tidak terlepas dari dua elemen, yaitu iklan serta sirkulasi (Peredaran koran).
Dalam pandangannya, sebuah surat kabar yang hanya mengandalkan iklan saja sebagai pendapatan utama sangatlah tidak sehat. Jika iklan sudah banyak, tentu saja kualitas isi surat kabar akan dikorbankan oleh managemen karena adanya kebutuhan iklan.
Ini sangat berpengaruh kepada pelanggan yang loyal, dimana mereka pada awalnya melihat surat kabar dari kualitas isi, dan saat sadar surat kabar favorit mereka penuh iklan, mampu sudah.
Demikian juga dengan surat kabar yang hanya mengandalkan sirkulasi sebagai aspek omzet utama. Meskipun memiliki persebaran koran yang luas dari tingkat keterbacaan. Namun dengan tidak adanya pemasukkan iklan, bisa jadi omzet total untuk menutup biaya produksi akan sangat tidak cukup dari aspek ini.
Sebagai solusi utama, jika ingin dikatakan ideal dari segi pendapatkan, maka Dahlan menyarankan agar sebuah surat kabar haruslah bisa membagi aspek utama omzetnya kedalam kedua hal itu secara adil sesuai kemampuan. Imbangnya adalah 60:40 untuk iklan dibanding sirkulasi.
Kenapa harus seperti itu. Dengan gamblang Dahlan mengambarkan, ketika sebuah surat kabar dalam kondisi pendapatan iklannya lebih kecil dibandingkan dengan target yang sudah ditentukan. Maka yang pertama kali disalahkan adalah tim sirkulasi. Sebab dengan tidak adanya persebaran koran tidak maksimal, maka hal itu tidak bisa disampaikan ke klien yang dituju.
Jikapun nantinya iklan sudah melebih target pendapatan, maka hal itu perlu mendapatkan kewaspadaan extras. Seperti tadi di atas, ketika ruang berita dipenuhi dengan ruang berita, maka dipastikan pelanggan loyal akan berpindah ke surat kabar yang lebih mementingkan kualitas berita.
Lantas dalam kondisi ini bagaimanakan kedudukan dari sirkulasi. Sama seperti iklan, jika nantinya sirkulasi tidak bisa memenuhi target omzet yang sudah ditetapkan, maka seharusnyalah mereka menyalahka redaksi.
Kenapa? Sebab tanpa adanya kualitas berita serta tampilan yang menarik, maka sebuah surat kabar tidak akan memiliki nilai jual di pasaran. Sehingga sangatlah wajar, jika dalam hubungan ini divisi produksi yang memegang peranan utama dalam keberlangsungan surat kabar.
Namun bagaimana jika dalam beberapa kurun periode pendapatkan iklan masih melebihi dari target dan sirkulasi tidak berkembang seperti harapan. Maka salah satu yang wajib dilakukan managemen adalah mempergunakan kelebihan pendapatan iklan untuk melakukan pembenahan di bagian redaksi. Entah dengan memberi pelatihan intensif atau lainnya, yang bertujuan mampu menyajikan berita dan tampilan surat kabar yang memiliki nilai jual.
Bagi Dahlan, skema seperti ini sangat ideal diterapkan di berbagai macam surat kabar di Indonesia yang lebih banyak dikelola secara perseorangan atau keluarga besar. Berbeda dengan surat kabar kondisi di luar negeri, terutama di Eropa dan Amerika.
Di kedua benua maju itu, kepemilikan surat kabar sudah dijual dalam bentuk saham. Sehingga ketika terjadi penurunan kualitas berita yang berujung pada penurunan pelanggan serta pendapatkan iklan, maka untuk mengenjot penambahan modal saham yang sudah ada dilempar ke pasar modal dengan harga yang lebih murah.
Akibatnya, ketika saham yang berbandrol murah tidak lagi diminati investor maka surat kabar yang bersangkutan sudah bisa dipastikan bangkrut serta hanya akan bertempur sengit di dunia maya yang sekarang ini berkembang pesat.
Apa yang saya sajikan di atas kiranya persis seperti apa terjadi sekarang ini. Dengan tingkat persaingan surat kabar yang begitu kompleks di Jogja, maka mau tidak mau divisi produksi dituntut lebih bekerja keras untuk menghasilkan produk yang mampu bersaing.
Segentol-gentolnya tim pemasar, sirkulasi, maupun promosi melakukan tugas utama mereka, namun jika produk yang dihasilkan tidak bisa memberikan nilai jual bisa dipastikan semua itu sia-sia.
Bukannya saling menyalahkan dalam kondisi yang begitu tertekan ini. Namun dengan kepala terbuka, apa yang saya tulis diatas itu memang ada benarnya dan bisa dilakukan demi mendapatkan suatu yang selama ini kita harapkan.
Terus terang, selama kuliah saya tidak pernah mendapatkan ilmu untuk memasarkan surat kabar. Dimanapun, pembelajaran mengenai ilmu komunikasi, terutama jurnalistik, lebih banyak berbicara tentang pembuatan produk yang berkualitas dan layak jual.
Jika sudah tercipta produk yang berkualitas dan dicari orang, maka sangatlah cepat produk tersebut dicari orang untuk selanjutnya menjadi referensi dan kebutuhan utama mencari informasi.
Ini hanya gambaran awal tentang perkembangan awal tentang media yang kemarin saya pelajari. Semoga bermanfaat.
KAYSER SOZE
2012
Seorang teman lama yang sudah lama berkecimpung dalam dunia tulis menulis berita dan juga seorang guru yang hebat meskipun dalam kondisi bisa dikatakan kurang sara sempat memberi nasehat yang sampai sekarang terpatri di kepala.
Tak panjang memang nasehat yang diberikan, hanya sepatah kata pendek dan diucapkan tanpa mimik serius. “Meskipun dirimu sekarang ini tidak lagi menulis, terutama berita. Tapi menulis lebih baik tetap dilakukan,” ujarnya.
Pertama saya pikir itu adalah guyonan, teman lama yang prihatin dengan kondisi saya sekarang yang sedang sekarang dan tidak produktif lagi.
Bukannya mengeluh atau tidak mensyukuri apa yang sudah diberikan kepada saya sekarang ini. Namun semenjak fokus di bidang yang sejak muda kurang bersemangat untuk menjalankan, rasanya kreatifitas, semangat menyajikan terbaik untuk orang lain terasa hilang.
Dunia kerja bagi saya sejak kecil adalah sebuah kegiatan yang dilakukan untuk tetap melanjutkan hidup dengan bergerak tiada pernah henti, tak mudah menyerah, dan penuh dengan perlawanan dari pesaing. Berubah saat harus bekerja dengan sedikit tenaga namun mampu menghasilkan banyak hasil.
Menulis, bagi saya bukan suatu perkara yang sulit. Namun menulis untuk menghasilkan sesuatu yang unik, menarik, dan tentu saja menghasilkan pendapatan bukanlah hal yang mudah. Perlu belajar banyak teori, perlu pengamatan langsung di lapangan, perlu banyak membaca, serta tidak pernah putus asa kehilangan semangat serta asa demi hasil terbaik.
Perkerjaan membuat lebih mudah dan dirasa aman daripada menjual. Padahal di lapangan, saat barang berkualitas jelek, jelas tak lakulah dia.
Ibarat kacang goreng, dengan harga murah mendapatkan dalam jumlah yang banyak serta sedikit berkualitas tentu saja akan laris dicari orang. Beda dengan produk yang dikerjakan dengan setengah saja, hasilnya tentu saja tidak maksimal untuk dijual guna mendapatkan keuntungan.
Sebuah teori baru saya terima minggu lalu dari Dahlan Iskan, CEO Jawa Pos Group. Baginya pertumbuhan surat kabar itu tidak terlepas dari dua elemen, yaitu iklan serta sirkulasi (Peredaran koran).
Dalam pandangannya, sebuah surat kabar yang hanya mengandalkan iklan saja sebagai pendapatan utama sangatlah tidak sehat. Jika iklan sudah banyak, tentu saja kualitas isi surat kabar akan dikorbankan oleh managemen karena adanya kebutuhan iklan.
Ini sangat berpengaruh kepada pelanggan yang loyal, dimana mereka pada awalnya melihat surat kabar dari kualitas isi, dan saat sadar surat kabar favorit mereka penuh iklan, mampu sudah.
Demikian juga dengan surat kabar yang hanya mengandalkan sirkulasi sebagai aspek omzet utama. Meskipun memiliki persebaran koran yang luas dari tingkat keterbacaan. Namun dengan tidak adanya pemasukkan iklan, bisa jadi omzet total untuk menutup biaya produksi akan sangat tidak cukup dari aspek ini.
Sebagai solusi utama, jika ingin dikatakan ideal dari segi pendapatkan, maka Dahlan menyarankan agar sebuah surat kabar haruslah bisa membagi aspek utama omzetnya kedalam kedua hal itu secara adil sesuai kemampuan. Imbangnya adalah 60:40 untuk iklan dibanding sirkulasi.
Kenapa harus seperti itu. Dengan gamblang Dahlan mengambarkan, ketika sebuah surat kabar dalam kondisi pendapatan iklannya lebih kecil dibandingkan dengan target yang sudah ditentukan. Maka yang pertama kali disalahkan adalah tim sirkulasi. Sebab dengan tidak adanya persebaran koran tidak maksimal, maka hal itu tidak bisa disampaikan ke klien yang dituju.
Jikapun nantinya iklan sudah melebih target pendapatan, maka hal itu perlu mendapatkan kewaspadaan extras. Seperti tadi di atas, ketika ruang berita dipenuhi dengan ruang berita, maka dipastikan pelanggan loyal akan berpindah ke surat kabar yang lebih mementingkan kualitas berita.
Lantas dalam kondisi ini bagaimanakan kedudukan dari sirkulasi. Sama seperti iklan, jika nantinya sirkulasi tidak bisa memenuhi target omzet yang sudah ditetapkan, maka seharusnyalah mereka menyalahka redaksi.
Kenapa? Sebab tanpa adanya kualitas berita serta tampilan yang menarik, maka sebuah surat kabar tidak akan memiliki nilai jual di pasaran. Sehingga sangatlah wajar, jika dalam hubungan ini divisi produksi yang memegang peranan utama dalam keberlangsungan surat kabar.
Namun bagaimana jika dalam beberapa kurun periode pendapatkan iklan masih melebihi dari target dan sirkulasi tidak berkembang seperti harapan. Maka salah satu yang wajib dilakukan managemen adalah mempergunakan kelebihan pendapatan iklan untuk melakukan pembenahan di bagian redaksi. Entah dengan memberi pelatihan intensif atau lainnya, yang bertujuan mampu menyajikan berita dan tampilan surat kabar yang memiliki nilai jual.
Bagi Dahlan, skema seperti ini sangat ideal diterapkan di berbagai macam surat kabar di Indonesia yang lebih banyak dikelola secara perseorangan atau keluarga besar. Berbeda dengan surat kabar kondisi di luar negeri, terutama di Eropa dan Amerika.
Di kedua benua maju itu, kepemilikan surat kabar sudah dijual dalam bentuk saham. Sehingga ketika terjadi penurunan kualitas berita yang berujung pada penurunan pelanggan serta pendapatkan iklan, maka untuk mengenjot penambahan modal saham yang sudah ada dilempar ke pasar modal dengan harga yang lebih murah.
Akibatnya, ketika saham yang berbandrol murah tidak lagi diminati investor maka surat kabar yang bersangkutan sudah bisa dipastikan bangkrut serta hanya akan bertempur sengit di dunia maya yang sekarang ini berkembang pesat.
Apa yang saya sajikan di atas kiranya persis seperti apa terjadi sekarang ini. Dengan tingkat persaingan surat kabar yang begitu kompleks di Jogja, maka mau tidak mau divisi produksi dituntut lebih bekerja keras untuk menghasilkan produk yang mampu bersaing.
Segentol-gentolnya tim pemasar, sirkulasi, maupun promosi melakukan tugas utama mereka, namun jika produk yang dihasilkan tidak bisa memberikan nilai jual bisa dipastikan semua itu sia-sia.
Bukannya saling menyalahkan dalam kondisi yang begitu tertekan ini. Namun dengan kepala terbuka, apa yang saya tulis diatas itu memang ada benarnya dan bisa dilakukan demi mendapatkan suatu yang selama ini kita harapkan.
Terus terang, selama kuliah saya tidak pernah mendapatkan ilmu untuk memasarkan surat kabar. Dimanapun, pembelajaran mengenai ilmu komunikasi, terutama jurnalistik, lebih banyak berbicara tentang pembuatan produk yang berkualitas dan layak jual.
Jika sudah tercipta produk yang berkualitas dan dicari orang, maka sangatlah cepat produk tersebut dicari orang untuk selanjutnya menjadi referensi dan kebutuhan utama mencari informasi.
Ini hanya gambaran awal tentang perkembangan awal tentang media yang kemarin saya pelajari. Semoga bermanfaat.
KAYSER SOZE
Tak panjang memang nasehat yang diberikan, hanya sepatah kata pendek dan diucapkan tanpa mimik serius. “Meskipun dirimu sekarang ini tidak lagi menulis, terutama berita. Tapi menulis lebih baik tetap dilakukan,” ujarnya.
Pertama saya pikir itu adalah guyonan, teman lama yang prihatin dengan kondisi saya sekarang yang sedang sekarang dan tidak produktif lagi.
Bukannya mengeluh atau tidak mensyukuri apa yang sudah diberikan kepada saya sekarang ini. Namun semenjak fokus di bidang yang sejak muda kurang bersemangat untuk menjalankan, rasanya kreatifitas, semangat menyajikan terbaik untuk orang lain terasa hilang.
Dunia kerja bagi saya sejak kecil adalah sebuah kegiatan yang dilakukan untuk tetap melanjutkan hidup dengan bergerak tiada pernah henti, tak mudah menyerah, dan penuh dengan perlawanan dari pesaing. Berubah saat harus bekerja dengan sedikit tenaga namun mampu menghasilkan banyak hasil.
Menulis, bagi saya bukan suatu perkara yang sulit. Namun menulis untuk menghasilkan sesuatu yang unik, menarik, dan tentu saja menghasilkan pendapatan bukanlah hal yang mudah. Perlu belajar banyak teori, perlu pengamatan langsung di lapangan, perlu banyak membaca, serta tidak pernah putus asa kehilangan semangat serta asa demi hasil terbaik.
Perkerjaan membuat lebih mudah dan dirasa aman daripada menjual. Padahal di lapangan, saat barang berkualitas jelek, jelas tak lakulah dia.
Ibarat kacang goreng, dengan harga murah mendapatkan dalam jumlah yang banyak serta sedikit berkualitas tentu saja akan laris dicari orang. Beda dengan produk yang dikerjakan dengan setengah saja, hasilnya tentu saja tidak maksimal untuk dijual guna mendapatkan keuntungan.
Sebuah teori baru saya terima minggu lalu dari Dahlan Iskan, CEO Jawa Pos Group. Baginya pertumbuhan surat kabar itu tidak terlepas dari dua elemen, yaitu iklan serta sirkulasi (Peredaran koran).
Dalam pandangannya, sebuah surat kabar yang hanya mengandalkan iklan saja sebagai pendapatan utama sangatlah tidak sehat. Jika iklan sudah banyak, tentu saja kualitas isi surat kabar akan dikorbankan oleh managemen karena adanya kebutuhan iklan.
Ini sangat berpengaruh kepada pelanggan yang loyal, dimana mereka pada awalnya melihat surat kabar dari kualitas isi, dan saat sadar surat kabar favorit mereka penuh iklan, mampu sudah.
Demikian juga dengan surat kabar yang hanya mengandalkan sirkulasi sebagai aspek omzet utama. Meskipun memiliki persebaran koran yang luas dari tingkat keterbacaan. Namun dengan tidak adanya pemasukkan iklan, bisa jadi omzet total untuk menutup biaya produksi akan sangat tidak cukup dari aspek ini.
Sebagai solusi utama, jika ingin dikatakan ideal dari segi pendapatkan, maka Dahlan menyarankan agar sebuah surat kabar haruslah bisa membagi aspek utama omzetnya kedalam kedua hal itu secara adil sesuai kemampuan. Imbangnya adalah 60:40 untuk iklan dibanding sirkulasi.
Kenapa harus seperti itu. Dengan gamblang Dahlan mengambarkan, ketika sebuah surat kabar dalam kondisi pendapatan iklannya lebih kecil dibandingkan dengan target yang sudah ditentukan. Maka yang pertama kali disalahkan adalah tim sirkulasi. Sebab dengan tidak adanya persebaran koran tidak maksimal, maka hal itu tidak bisa disampaikan ke klien yang dituju.
Jikapun nantinya iklan sudah melebih target pendapatan, maka hal itu perlu mendapatkan kewaspadaan extras. Seperti tadi di atas, ketika ruang berita dipenuhi dengan ruang berita, maka dipastikan pelanggan loyal akan berpindah ke surat kabar yang lebih mementingkan kualitas berita.
Lantas dalam kondisi ini bagaimanakan kedudukan dari sirkulasi. Sama seperti iklan, jika nantinya sirkulasi tidak bisa memenuhi target omzet yang sudah ditetapkan, maka seharusnyalah mereka menyalahka redaksi.
Kenapa? Sebab tanpa adanya kualitas berita serta tampilan yang menarik, maka sebuah surat kabar tidak akan memiliki nilai jual di pasaran. Sehingga sangatlah wajar, jika dalam hubungan ini divisi produksi yang memegang peranan utama dalam keberlangsungan surat kabar.
Namun bagaimana jika dalam beberapa kurun periode pendapatkan iklan masih melebihi dari target dan sirkulasi tidak berkembang seperti harapan. Maka salah satu yang wajib dilakukan managemen adalah mempergunakan kelebihan pendapatan iklan untuk melakukan pembenahan di bagian redaksi. Entah dengan memberi pelatihan intensif atau lainnya, yang bertujuan mampu menyajikan berita dan tampilan surat kabar yang memiliki nilai jual.
Bagi Dahlan, skema seperti ini sangat ideal diterapkan di berbagai macam surat kabar di Indonesia yang lebih banyak dikelola secara perseorangan atau keluarga besar. Berbeda dengan surat kabar kondisi di luar negeri, terutama di Eropa dan Amerika.
Di kedua benua maju itu, kepemilikan surat kabar sudah dijual dalam bentuk saham. Sehingga ketika terjadi penurunan kualitas berita yang berujung pada penurunan pelanggan serta pendapatkan iklan, maka untuk mengenjot penambahan modal saham yang sudah ada dilempar ke pasar modal dengan harga yang lebih murah.
Akibatnya, ketika saham yang berbandrol murah tidak lagi diminati investor maka surat kabar yang bersangkutan sudah bisa dipastikan bangkrut serta hanya akan bertempur sengit di dunia maya yang sekarang ini berkembang pesat.
Apa yang saya sajikan di atas kiranya persis seperti apa terjadi sekarang ini. Dengan tingkat persaingan surat kabar yang begitu kompleks di Jogja, maka mau tidak mau divisi produksi dituntut lebih bekerja keras untuk menghasilkan produk yang mampu bersaing.
Segentol-gentolnya tim pemasar, sirkulasi, maupun promosi melakukan tugas utama mereka, namun jika produk yang dihasilkan tidak bisa memberikan nilai jual bisa dipastikan semua itu sia-sia.
Bukannya saling menyalahkan dalam kondisi yang begitu tertekan ini. Namun dengan kepala terbuka, apa yang saya tulis diatas itu memang ada benarnya dan bisa dilakukan demi mendapatkan suatu yang selama ini kita harapkan.
Terus terang, selama kuliah saya tidak pernah mendapatkan ilmu untuk memasarkan surat kabar. Dimanapun, pembelajaran mengenai ilmu komunikasi, terutama jurnalistik, lebih banyak berbicara tentang pembuatan produk yang berkualitas dan layak jual.
Jika sudah tercipta produk yang berkualitas dan dicari orang, maka sangatlah cepat produk tersebut dicari orang untuk selanjutnya menjadi referensi dan kebutuhan utama mencari informasi.
Ini hanya gambaran awal tentang perkembangan awal tentang media yang kemarin saya pelajari. Semoga bermanfaat.
KAYSER SOZE
Langganan:
Postingan (Atom)