Pemerhati-ku

Minggu, 06 Februari 2011

Kalangwan

Istirahat sejenak di pagi hari usai olahraga lari, sebuah buku tebal yang tergeletak di lemari bedak istri menyita perhatianku. Buku karya Zoetmulder, Guru Besar Sastra Jawa Unoversitas Gajah Mada yang tertera dicetak pada 1973 diberi judul “Kalangwan”.
Sepintas terlintas pertanyaan apa yang dimaksud dengan orang Belanda dengan memberi judul buku yang ditulisnya dengan bahasa aneh yang mungkin hingga sekarang ini sangat jarang didengar kalangan masyarakat umum.
Satu-satu persatu halaman buku yang aslinya ditulis dalam bahasa Belanda itu dan menjadi pegangan wajib mahasiswa Sastra Jawa dimanapun terbuka dan aku pun terhanyut dalam ribuan kata yang tertera. Kalangwan, satu kata baru yang merasuki otakku dan terus-menerus mencari artinya.
Tidak susah memang untuk menemukan arti kata baru itu, yang ternyata oleh Zoetmulder pengertian Kalangwan itu ditempatkan di awal bab pertama dan langsung bisa dipahami oleh pembaca bukunya.
Kalangwan, adalah salah satu kosakata dalam bahasa Jawa Kuno yang memiliki arti “Keindahan”. Sedikit tambahan, menurut istriku, yang nota bene pemilik buku itu, Kalangwan itu berasal dari kata dasar Lange, yang artinya indah.
Menarik apa yang akan disajikan dalam buku yang memiliki sekitar 12 bab itu. Menurut Zoetmulder, kalangwan itu adalah kosakata yang ditujukan pada hasil sastra Jawa Kuno yang ditulis dalam aksara Jawa yang beberapa masih bisa ditemui hingga sekarang.
Bagi Zoetmulder, karya sastra dari sentra kebudayaan Indonesia ini sangatlah menarik dan unik. Bahkan bila ditilik dari isi serta pesan yang disampaikan dalam sastra itu, kita bisa belajar dengan berbagai hakekat kehidupan manusia dan cara-cara mengatasi permasalahaan kehidupan yang terkadang membuat kita kebinggungan.
Bahkan menurut istriku yang sudah tamat mempelajari buku ratusan halaman itu, dalam beberapa bab juga diungkapkan berbagai ramalan jaman yang akan terjadi di Indonesia.
Hingga aku membuat tulisan ini, terus terang yang menjadi pertanyaanku hingga sekarang ini, kenapa harus mesti orang luar yang peduli dan berpikir untuk melakukan penelitian terhadap bahasa yang sehari-hari digunakan oleh sebagao bear penduduk Jawa. Bahkan orang yang bukan asli Indonesia itu mampu menyajikan hasil karyanya dengan sangat menarik dan memikat pembaca untuk tidak bosan menyelesaikan bacaan itu.
Lantas, kemana sekarang larinya para akademisi-akademisi yang serupa dengan Zoetmulder. Boleh saja, universitas membanggakan akan lulusan terbaik yang bisa dihasilkan dalam sastra Jawa. Namun masyarakat kiranya menunggu hasil yang pasti akan kelestarian bahasa Ibu kita yang sekarang ini kondisinya memprihatikan.
Coba perhatian lingkungan sekitar kita saja, sastra Jawa atau apapun yang menyangkut tentang Jawa, coba ditinggalkan dan tergantikan dengan bahasa baru yang nyatanya keluar dari pakem aslinya.
Terus terang, studi tentang Bahasa Jawa awalnya menjadi minat khususku untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Alasanku Cuma satu, yaitu agar bisa pergi ke Belanda guna bisa belajar dan mengambil kembali apa yang sudah mereka rampas selama 350 tahun yang lalu.
Ya meskipun cita-cita tidak kesampian, namun Tuhan sudah menentukan jalanku yang lain. Aku mendapatkan istri yang dulu menempuh studi itu, sehingga aku bisa belajar banyak tentang Kebudayaan Sastra Jawa yang seumur hidupku tidak pernah terangkum dengan jelas dalam pendidikanku.


KAYSER SOZE

Tidak ada komentar: