Memiliki sebuah pandangan tentang hidup dan ketenangan yang pasti akan mati, nyatanya tetap membuat kita berada dalam jalur yang benar menempuh sisa hidup kita.
Sederhana saja. Kita seperti sebuah modul, yang terlihat begitu mudah dilakukan saat dibaca, namun nyatanya tetap saja kita menemui kesulitan yang terkadang mematahkan semangat hidup kita. Rasanya ketika kita berada pada sebuah amplitudo yang paling rendang, kita seperti mati.
Aku pernah membaca sebuah potongan kalimat yang memang mengambarkan diriku sebenarnya. Bahwa saat kita akan memulai sesuatu yang penting dan begitu panjang prosesnya dalam hidup kita, yang pertama mesti kita lakukan adalah melangkah kecil ke depan. Jikapun ada niat yang tulus serta penuh, langkah selanjutnya menuju tujuan mudah saja dilakukan.
Ini hanya teori yang kau pikir. Namun memang itu benar adanya untuk tetap menjadi acuan dalam hidup.
Menikmati pepaya dalam irisan kecil-kecil yang menimbulkan rasa manis di mulut rasanya tulisan ini tidak akan jadi bentuk yang indah. Tanpa kipas yang menantap kita, dia terlihat congkak dengan mengdongak, tapi tetap saja dia memberi arti walaupun sedikit.
Nenas malam ini tidak bisa tidur karena kepanasana. Langit di luar malam ini dalam kondisi sedikit mendung dan hanya memberi sedikit kesempatan pada beberapa bintang untuk tetap memberikan redup sinarnya.
Kembali lagi ke rumus teori tentang melakukan sesuatu yang sudah aku bilang diatas tadi. Untuk pekerjaan yang lain rasanya hal itu sangat berarti karena membuat saya secara pribadi menjadi lebih optimisi dan percaya diri. Tapi untuk urusan yang satu ini, saya mengaku lebih suka mengangkat tangan.
Cerpen alias cerita pendek adalah karya sastra favorit saya. Saya tidak ingat entah berapa puluh ribu cerpen baik yang sudah dicetak di buku atau koran-koran mingguan yang sudah saya lahap habis.
Ceritanya hanya adalah satu teman dan itu pun langsung habis dalam sekali tempo baca. Tidak membutuhkan banyak waktu untuk membaca serta mengenali pesan apa yang ingin penulis sampaikan pada pembacanya.
Lalu jika kau menyukai cerpen kenapa tidak bikin cerpenmu sendiri? Itu mungkin pertanyaan yang kau ajukan kepadaku jika aku menceritakan tentang favorit bacaanku. Terus terang, aku menemui kesulitan untuk menjelaskan dari mana aku harus memulai.
Ini rasanya seperti pertama kali kita bertemu dan berkenalan dengan orang yang bagi kita begitu menarik serta tertantang menaklukannya. Darah naik ke semua saluran meskipun tidak mengakibatkan munculnya keringat dingin, dan jatung terus berdenyut keras tanpa bisa menghentikannya. Begitu pula yang aku rasakan saat akan memulai membuat sebuat cerpen.
Aku tidak pernah kehabisan ide untuk cerpen yang nantinya aku buat. Aku Cuma tidak memiliki keberanian untuk memulai menuliskan satu kalimat pembuka. Karena ketakukan, saat kata pertama sudah tertulis, dan kau tidak menemukan kata yang tepat untuk melanjutkan kalimat itu, maka artinya kau bisa dikategorikan gagal.
Kalimatku terhenti pada tangisan pertamanya yang mengetarkan dunia. Ini yang dulu aku tulis pada awal kehadirannya. Namun hanya satu kalimat itu saja dan aku tidak bisa melanjutkan lagi apa yang nantinya akan menjadi sambungannya. Ibarat kereta, aku kehilangan pegangan dan hanya bisa terhenti di stasiun tua ini, tanpa kawan, tanpa penumpang, dan hanya dilintasi waktu serta laju teman yang lain.
Kau tahu kawan, hanya itu yang aku bisa saat kau tantang aku lebih jauh dalam dunia sastra. Aku penuh ide, namun tidak bisa dengan mudah menemukan jalan untuk merangkainya. Karena itu hingga sampai sekarang ini aku lebih suka mencurahkan ide-ideku dalam berbagai puisi.
Tidak panjang dan berbelit puisi yang aku ciptakan. Aku hanya terfokus pada makna dan keindahan kata serta pepadanan. Artinya, jika satu kata tidak serasi atau sepadan dengan kata berikutnya,maka aku akan terhenti serta berpikir untuk mengantinya dengan kata yang lain.
Mirip Chairil Anwarlah pola pikir yang aku suka. Tidak merunut ejaan bahasa yang benar, namun indah dan penuh makna saat dibacanya.
Salam.....
Dari sang Pengali Pasir
Fakir, itu dekat sekali dengan kafir. Hanya ada dua pilihan bagi kita yang tergolong miskin ini, syukur atau kufur.
Kalau kita selalu penuh dengan syukur, apapun kondisi yang kita yang kita terima, maka derajat kita akan lebih tinggi dibanding orang-orang kaya yang pandai bersykuru.
Tapi, kalau kita kufur, derajat kita akan lebih rendah daripada orang kaya yang kufur.
KAYSER SOZE
Tidak ada komentar:
Posting Komentar