Kawan, apa kabar?
Terus terang aku kesulitan menemukan kata selanjutnya. Aku tidak tahu harus menyatakan apa setelah menanyakan kabarmu.
Aku tahu, seharusnya memang mudah untuk menyambung dengan kata lain. Semisal dimanakan sekarang kamu, sudah menikahkah dirimu, atau sakitkan kamu sekarang? Tapi kata itu, yang selama ini berkecamuk di otakku sama sekali tidak terlintas untuk dikeluarkan.
Aku paham, aku bukanlah Pramoedya, Asrul Sani, Sanusi Pane, atau Chairil yang mampu merangkai berbagai kata dan ucapan dalam satu kalimat indah yang membuat mata kita tidak akan pernah lelah untuk terus membaca karya mereka.
Aku juga bukan Bung Rosihan, Gonawan, maupun Ainun. Yang mampu merangkai fakta, opini, dan canda menjadi satu struktur kata untuk menghasilkan tulisan yang mudah dicerna serta langsung mengena.
Yang selama ini aku paham, aku hanya terus mencoba belajar menulis dan berkarya. Sekedar untuk mengisi waktu luang dan menuangka segala ide di kepala. Jika kau sebut aku penganggur dan kurang pekerjaan sehingga menulis rangkaian kata ini, aku terima dengan suka cita.
Kawan, usai kutanyakan kabarmu, aku hanya ingin bercerita sedikit tentang kabarmu. Pasti engkau tahu, jika sudah saatnya lelaki tidak ingin dikekang, dia pasti pergi dari rumah. Entah dengan benda yang melekat maupun kenekatan. Yang pasti, pergi untuk mencari kebebasan serta pengalaman hidup juga aku lakukan.
Jalanku, kurasa tidak pernah panjang. Hanya setengah-tengah dan terus terang, aku akui sangat nanggung untuk aku ceritakan sebagai pengalaman. Tapi aku yakin, jika terus membaca dan mencerna, aku pastikan kau akan merasa nikmat atau hanya sekedar nyaman. Aku akan sangat menghargai itu.
Kawan. Aku hidup di dunia dunia. Laksana katak dan ular atau hewan aphimbi lainnya. Aku menloncat ke dua malam akademik setelah seharian menghabiskan tenaga untuk sesuap nasi dan tabungan. Semua kulakukan dengan rela dan tanpa pernah merasa bersalah menghabiskan masa muda untuk dua dunia yang banyak orang katakan tidak akan pernah bisa bersatu.
Aku menikmatinya. Aku merasa bisa hidup di dalamnya. Dan aku merasa diterima lingkungan meskipun harus hidup di dunia dunia.
Jangan pernah bicara tentang kesenangan dan belanja atau cara instan mendapatkan gelar. Bagiku itu tabu dan tidak terhormat sebagai soerang manusia sosial yang tumbuh berkembang dengan jaman. Aku memulainya dari nol dan menjadi besar, karena aku sangat yakin langkah kecil ini akan menjadi awal sebuah langkah yang besar.
Kau mungkin bertanya, tidak frustasikan aku dengan hidupku. Dua dunia yang tidak mungkin bersatu, bagi sebagian orang, dan aku dipaksa hidup di dalamnya.
Kawan yang seharusnya kita pastikan dulu harfiah dari frustasi yang kebanyakan dialami teman-teman sebayak kita atau orang yang memiliki lebih usia dibandingkan kita. Jika kau berada di sebuah ngarai jurang, dimana satu sisi adalah harapan hidupmu dan di sisi yang lain adalah kenyataan yang kau terima sekarang.
Itulah yang kumaksudkan dengan frustasi kawan. Kau tidak bisa membuat jembatan antara harapan dan kenyataan yang ada. Bukannya kau tidak mampu membuat sebuah jembatan, tapi karena tidak ada niat dan kemauan, jembatan antara harapan dan kenyataan itu tidak pernah ada.
Bagiku, untuk bisa dengan mudahnya membangun jembatan antara harapan dan kenyataan. Terlebih dahulu kita harus membuat sisi jurang yang lain sama-sama rendah dan tidak menciptkan palung yang terlalu dan dalam menyebabkan lebar.
Jika sudah tidak membahayakan bagimu, maka jalinlah sebuah tali, ingat sebuah tali, dan kemudian pilinlah tali lainya satu persatu sesuai dengan kemampuan dan kerja keras kita. Lakukan perlahan-lahan dan tidak usah terlalu sering-sering memanjatkan sebuah doa.
Sebab jembatan yang kita buat itu, adalah 99% kerja keras kita dan 1%-nya hanyalah sekedar keberuntungan. Inilah falsafat sebenarnya kehidupan kawan.
Satu lagi ceritaku, jika tengah malam aku terlalu sering membayangkan, memimpikan wajah seroang gadis. Yang bila kau pikirkan dan melihat secara langsung, kau pasti akan mengatakan mudah mendapatkannya.
Tapi ingat kawan, aku hidup di dua dunia. Kesenangan hanya sesaat, yang ada hanyalah kerja keras dan terus kerja keras. Jadilah kiranya aku ibarat punguk merindukan bulan. Jangan kau menangis kawan, sebab inilah pelajaran hidup yang harus diterima setiap pria ketika dia pertama kali berkenalan dengan cinta.
Kawan, jika kau lihat tepi sungai itu, disanalah aku tumbuh dabn memilih tali untuk membangun jembatan antara harapan dan kenyataan. Di sanalah kawan, aku pernah merasakan sakit, sedih, lapar, kenyang, dan caci maki yang terkadang mendesakku mengeluarkan air mata, tapi selalu kutahan.
Di tepi kali keruh itulah kawan, aku mengakhiri kehidupan dua duniaku. Aku yakinkan, bahwa sudah saatnya aku pulang ke rumah untuk sekedar beristirahat dan menenangkan raga.
Tapi kawan, meskipun raga sudah istirahat, tapi jiwa dan pikiranku kacau balau serta sibuk menghilangkan berbagai kenangan indah akan cinta. Ya sebuah cinta yang kutinggal jauh di sana. Dengan tatapan sedih tanpa cucuran air mata, karena aku tidak sempat melihatnya.
Kawan, apakah kau jenuh mendengar ceritaku ini. Pahamlah kawan, jika kau memang jenuh membaca, sebentar saja rebahkan badanmu dan lemaskan ototmu. Jangan lupa, tetap jaga matamu agar tetap tidak tertidur.
Sekarang kau ingin mendengar cerita yang mana dariku kawan? Aku mohon jangan minta aku bercerita tentang cinta. Aku tidak mampu menceritakan cerita tentang cinta, sebab aku memang dari dahulu aku tidak pernah merasakan cinta yang sesungguhnya.
Maafkan aku sayang, kau tahu, dirimu masih tetap ada di hatiku dan mengisi sepanjang hidupku meskipun tidak bersama lagi.
Kawan sudah berapa lama aku bercerita? Sudah bosankah kamu atau tidak mau memabaca kembali apa yang sudah kutuliskan untukmu.
Aku sadar, meskipun banyak karya yang kubumbukan. Tapi untuk sekedar menulis indah, dalam merangkai kata dari fakta dan imajinasi. Aku selalu kalah. Aku selalu tidak mampu merangkainya.
Kawan, jika kau paham, kita selalu tidak bisa menulis dengan indah bukan. Jika kau rela, biarkan aku tenggelam dalam kamar hitam yang selalu menjadi idamanku. Salam. 02/1/2011
KAYSER SOZE
Tidak ada komentar:
Posting Komentar