Pemerhati-ku

Minggu, 29 Mei 2011

Kampung tanpa jalan

Sepanjang hidup kalian, pernahkan kalian mendengar sebuah kampung yang tidak memiliki jalan masuk seperti kampung lainnya. Maksudku jalan masuk yang menandakan masuk sebuah kampung dengan gapura atau hanya semacam simbol yang menanda memasuki sebuah kampung. Anehnya, meskipun tidak memiliki jalan masuk, namun penduduk kampung ini hampir absen di dunia umum.
Jika kalian ingin mendengar bagaimana kehidupan kampung tanpa jalan, adanya baiknya kalian meluangkan waktu sejenak untuk mendengar cerita tentang kampung tempat aku dibesarkan yang sama sekali tidak memiliki jalan masuk.
Kampungku berada di sebuah desa dari kecamatan yang tidak pernah diperhatikan pemerintahan daerahnya di bagian timur pulau ini. Sehingga kami, secara umum menyatakan hidup dan bekembang sendiri tanpa bantuan dari pemerintah.
Sebenarnya ini bukan kampungku, maksudku, sebenarnya aku dan keluargaku baru pindah ke kampung ini ketika kami lima bersaudaran sudah bersekolah semua. Sedangkan kampung tempat aku dilahirkan sekarang ini sudah berganti dengan bangunan megah yang dinamakan sebagai tempat penyimpanan uang.
Terletak di pinggir sungai besar dan himpitan bangunan megah sebuah hotel, lahirlah kampung yang hingga sekarang ini tidak memiliki jalan masuk. Menempati bekas cengkungan aliran sungai yang bertahun-tahun sudah tidak dialiri lagi, maka munculan kampung baru yang dihuni warga pendatang dengan cara menyewa seumur hidup kepada aparat dinas pengurusan air yang uangnya masuk kekantong sendiri.
Karena berada di bekas cengkungan, maka kampung baru ini lebih banyak disebutkan banyak orang dengan nama “Ledok Asri”. Yang artinya hunian yang berada di ledokkan atau cengkungan sebuah sungai.
Lantas bisa aku pastikan, kalian pasti akan bertanya bagaimana rumah-rumah warga itu bisa dibangun dengan semen dan material umum lainnya, sedangkan jalan masuk saja tidak ada?
Seperti yang aku sebutkan tadi diatas, memang kampungku tidak memiliki jalan masuk seperti layaknya kampung lainnya. Sejak diresmikan sebagai kampung baru, maka warga baru dan lama berunding yang akhirnya memutuskan untuk memberi kesempatan warga untuk membeli sebidang tanah dari salah warga yang lebarnya kurang dari satu meter. Karena sangat membutuhkan, lantas warga baru itu lantas sepakat membeli tanah itu untuk dijadikan sebuah jalan dengan panjang kurang dari sepuluh meter sebagai jalan masuk.
Nah dari jalan baru inilah, maka berbagai kebutuhan material semisal bata, kayu, semen, dan berbagai peralatan lainnya didatangkan dari dunia luar. Sedangkan untuk batu dan pasir, warga baru ini dengan mudahnya bisa mendapatkan di sungai besar yang berada di sebelah barat kampung.
Selain jalan baru yang dibikin bersama warga atas, kami biasa menyebut warga lama demikian karena mereka menghuni bagian atas dari kampung kami. Kami juga memiliki jalan lain yang kami kira malah sangat menantang dan menyenangkan. Bahkan kami memiliki dua jalan.
Yang pertama, adalah jalan masuk setapak yang berujung di jembatan besar yang berada di sisi selatan kampung atau arah hilir. Sehingga bila melewati jalan ini, maka kalian diwajibkan dahulu meniti jalan menanjak untuk sampai di bibir jembatan yang langsung berhubungan dengan jalan raya. Tentu saja, jika kalian lewat malam hari, jalan ini akan semakin menantang dan penuh bahaya.
Selain di kanan-kiri masih semak tanaman berduri, selain harus menanjak dalam gelap, di beberapa tempat terutama di rerimbunan pohon bambu kita akan mendengar suara-suara orang bercakap-cakap sambil sesekali kita akan melihat setitik sinar yang berasal dari rokok. Jangan kuatir atau takut mereka akan menganggu, karena mereka memang tidak ingin diganggu.
Jika kalian berpikir itu adalah dedemit penjaga sungai ini, maka itu salah. Mereka adalah manusia yang sama dengan kita. Namun mereka adalah manusia malam. Dimana mereka ini adalah para penjaja dan penikmat cinta sesaat. Ya memang kampungku memang bersebelahan dengan portitusi murahan yang tempat kencannya di bawah rimbun bambu.
Jangan berharap kalian akan menemukan wanita mudah yang cantik dan segar layaknya portitusi lainnya. Penjaja portitusi pinggir kali ini lebih banyak dihuni ibu-ibu yang layaknya disebut anak-anak kita dengan panggilan nenek dan untuk menarik perhatian pembeli mereka memakai bubuk berwarna putih dalam dosis yang tidak wajar sehingga terlihat terang di dalam gelap.
Karena beroperasi malam hari, dapat dipastikan kita tidak akan menemukan mereka siang hari. Sebab memang mereka bukan warga sini. Tambahan lagi, kami tidak mungkin membubarkan atau melarang mereka, sebab mereka sama seperti kami yang juga mencari makan di tengah jaman yang semakin edan ini. Asalkan mereka tidak menganggu, kami tidak akan menganggu.
Sedangkan jalan kedua yang juga sama-sama menantang dan menyenangkan, adalah menyeberangi sungai hingga ke daratan sebelah barat. Tentu saja, jalan ini lebih banyak munculnya ketika musim kemarau datang dimana saat itu aliran sungai menjadi kecil sehingga terjadi pendangkalan.
Dari menyebrangi sungai ini, kita akan dihadapakan pada jalan setapak yang juga sama-sama menanjak, namun jika sudah sampai di atas maka kepuasan batin saya pastikan akan kalian dapat. Dimana dari atas bukit itu kita bisa melihat kampung ledok asri dari bagian atas, semua terlihat indah bagai lukisan kampung yang muncul di tengah hutan bambu yang asri.
Namun semenjak kampung ini hadir, kedua jalan itu lebih banyak dipergunakan jika keadaan terdesak. Semisal ketika terjadi kejar mengkejar dengan pencuri ayam yang kebetulan masuk, inilah dua-dua jalan utama yang akan dipergunakan pelaku kejahatan untuk melarikan diri dan tentu saja karena tidak paham medan kami mudah saja menangkapnya.
Tentang kehidupan di kampung tanpa jalan ini, secara pribadi saya menyatakan inilah satu-satunya kampung terdamai di dunia. Bayangkan, berada di tempat yang tersembunyi dan jauh dari peradaban, kampung ini juga memiliki pemandangan alam yang tiada duanya di bagian lain dunia ini yang berasa dari sungai besar yang tiada pernah berhenti mengalir.
Karena sulitnya akses masuk, maka beberapa warga yang gemar berjudi lantas mendirikan sebuah pos kamling di pingir sungai dan dibawah rumpun bambu. Disanalah hampir setiap malam pertandingan judi dengan omzet ratusan ribu rupiah digelar dan aman dari gangguan aparat keparat.
Dalam proses pembangunan kampung baru ini, kami warga baru sepakat mendesain kampung ini dengan konsep terbuka dan memudahkan untuk komunikasi. Sehingga bangunan tiap rumah diatur sedemikian rupa dan dihubungkan dengan jalan setapak yang sesuai kesepakatan tidak akan pernah dibeton karena ingin menjaga alam dengan membiarkan alir mengalir dan masuk ke tanah.
Jalan-jalan ini selain menghubungkan tiap rumah, dipastikan akan bermuara pada area kosong yang berada di tengah kampung. Di area kosong yang tidak memiliki rumput indah ini dan hanya berhiasakan pohon jambu dan mangga yang setiap musim selalu dinikmati anak-anak kami setiap sore berkumpul untuk beraktivitas bersama.
Entah itu bermain bersama anak-anak atau melihat mereka bermain sepak bola, voli, ataupun hanya sekedar berlari-lari keliling area karena tidak adanya kendaraan motor yang bisa berkeliaran semaunya hingga capai itu sangat menghibur kami. Bahkan tidak sekedar menjadi ruang publik, area kosong dengan kursi-kursi bekas bus kota itu menjadi medai bergosip ria bagi ibu rumah tangga tentang berbagai hal.
Ini masih belum cukup, karena tidak akses masuk sehingga sedikit saja orang yang berseliweran, terutama orang asing, kami dengan mudahnya bisa menikmati aliran sungai besar itu.
Yang tidak hanya menjadi tempat sampah yang besar, namun sungai besar itu juga menjadi sebuah ruang umum bagi kami untuk bersosialisasi berbarengan mengerjakan pekerjaan rumah tangga semisal mencuci baju. Namun karena tidak adanya orang asing, para ibu-ibu dan remaja, dan tidak lupa kami para pria dengan tidak malunya mandi di sungai tanpa takut diintip orang lain.
Tapi yang paling aku senangi dari kampung ini adalah ketika musim kemarau panjang tiba. Pasalnya ketika air sungai mengecil dan itu berakibat sedikitnya air di sumur kami, maka kami para pria bergotong royong membuat belik atau kolam mata air yang kami pergunakan untuk mandi maupun kebutuhan yang berdasarkan air.
Jadi bisa dipastikan, ketika sore hari, baik wanita maupun pria akan berkumpul di pinggir sungai untuk menikmati air kolam yang sangat jernih itu. Bahkan untuk kolam pria dengan kondisi terbuka, kami tidak malu untuk saling bekejar-kejaran dan mengoda yang lain di tengah-tengah mereka yang ngobrol serta berguyon seru. Inilah aksinya bermain sebelum mandi.
Karena jaraknya tidak terlalu jauh dari jembatan besar itu, biasanya anak-anak baru gede lebih senang dengan mengobrol dengan cara telanjang bulat dan duduk di atas batu sungai. Mereka bahkan tidak malu-malu mengoda anak-anak yang baru pulang sekolah sore dengan berteriak serta melompat-melompat mengoda agar diperhatikan bahwa mereka telanjang.
Akhirnya karena lebih banyak diisi dengan kegiatan ngobrol, maka kegiatan mandi yang seharusnya sebentar bisa sampai berjam-jam. Sebagai gambaran saja jika kalian datang sekitar pukul empat sore maka dipastikan kalian akan sampai rumah ketika adzan magrib berkumandang dengan wajah ceria dan teriakan-teriakan masih saling mengejek dengan teman sekampung yang memang rumahnya tidak berjauhan.
Dengan posisi rumah saling berdekatan, selain menimbulkan keakraban penghuninya, berbagai permasalahan tentang keluarga juga tidak pernah luput menjadi pembicaraan bagi kami yang memang bisa mendengarnya dari tempat duduk kami menikmati makan malam sambil menikmati anak belajar.
Lalu bagaimana dengan ada kematian, bukankah akan kesulitan jika harus mengeluarkan jenazah dari kampung yang tidak memiliki jalan masuk ini?
Sebenarnya hal itu juga pertama kali membinggungkan warga kampung kami saat mereka mulai menghuni. Namun ketika kakekku meninggal dunia, atau artinya dia adalah kasus kematian pertama warga kampung mencari solusinya dengan mencari keranda mayat dengan ukuran yang lebih kecil dibandingkan biasanya.
Bila keranda biasanya digotong penuh oleh empat pria di empat sisinya, maka ketika melintasi jalan kecil yang menghubungkan kampung ledok dan atas, maka keranda itu tidak diangkat lagi melainkan dijinjing layaknya membawa keranjang dan ini menjadi pemecahaan selamanya. Mudah kan.
Namun semuanya ini hanya tinggal kenangan abadi bagi kami warga ledok asri yang masih hidup. Pasalnya sejak kami menghuni kampung ini sepuluh tahun yang lalu, banjir besar yang terjadi pada tengah malam satu malam di bulan suro menghancurkan kampung yang asri dan damai ini. Tercatat hampir separuh warga kampung ini tidak bisa menyelematkan diri karena terjangan air sungai yang datang tanpa isyarat dan esok paginya mereka diketemukan terjepit bebatuan di bagian hilir.
Satu tahun sejak bencana itu terjadi, aku kembali lagi, namun sekarang ini bukan rumah penduduk yang rapi dan asri lagi yang aku temui, melainkan semak-semak liar yang tumbuh tanpa terawat di segala sudut sisa bangunan yang masih tertanam. Semenjak banjir itu, pemerintah memutuskan melarang siapapun menghuni lagi wilayah sungai itu karena dinilai bahaya.
Dari sinilah, akhirnya aku bisa belajar satu hal lagi, bahwa bagaimana kuatnya kita melawan alam, bisa dipastikan kita akan kalah juah di suatu waktu tanpa bisa kita pahami lagi.









KAYSER SOZE