Pemerhati-ku

Kamis, 10 Maret 2011

Goresan secarik hati

Di sepanjang malam yang telah aku lalui. Selalu muncul pertanyaan tentang apakah aku sudah bisa menulis dan menghasilkan karya. Jika cuma goresan-goresan huruf di kertas kosong, itu aku sudah lakukan dari banyak tahun lalu.
Terus terang, semua yang kuhasilkan itu tanpa niat dan hanya iseng belaka. Jika pun sudah berhasil menjadi tulisan panjang, kiranya ketika dibaca dengan seksama tulisan itu tidak punya ruang dan memiliki arti.
Jangankan tulisan panjang. Untuk tulisan pendek saja, yang katakan hanya berisikan empat paragraf saja, aku pun terkadang harus dipaksa. Bahkan tidak hanya tubuhku yang harus dipaksa menulis dan merangkai huruf, otak yang sudah sehari penuh dipenuhi berbagai target serta perencaan dan sasaran harus turut serta dipaksa agar bisa menghasilkan sebuah karya yang bisa dibilang mengagumkan.
Tapi apa daya, dengan sgala upaya dan sedikit pemaksaan yang sangat berat, akhirnya memang aku bisa menyelesaikan sebuah tulisan yang katakan memakam dua halaman di layar komputerku. Tapi kembali ke kata tapi, semua itu sulit untuk dicari makna maupun pesan yang terkandung dalam tulisan itu. Bahkanpun jika bisa diartikan, makan bisa dipastikan orang yang mengartikan adalah sama-sama tidak paham dan maha tidak tahu tapi sok tahu. Sama seperti aku.
Itu dari segi tulisan saja. Sedangkan dari sisi eksplorasi untuk bahan tulisan, aku hanya sebatas deret ukur dalam sebuah pengaris yang memiliki panjang kurang dari 30 cm. Atau bisa kau katakan tidak panjang alias pendeka saja.
Dari banyak buku serta berbagai bahaan bacaan yang setiap hari aku lahan. Aku dengan mudahnya dapat mengambil kesimpulan dan gambaran bahwa penulis sebuah karya yang menurutku menarik adalah seseorang dengan kemampuan imajinasi yang luas, berwawasan luas, serta banyak pengalaman di banyak tempat. Sehingga tulisan yang dihasilkannya memiliki bobot cerita yang enak dan bisa menetramkan pembacanya.
Tidak hanya itu, runut tulisan yang bertutur alias bercerita membuat membaca tulisan yang panjang itu tidak terasa. Jika si penulis seperti mengeluarkan buku yang memiliki ketebalan hingga beberapa cm meter maka akan tetap dengan mudah dilahap dan dipahami pesannya.
Bahkan dari beberapa karya penulis terkenal, mereka tidak butuh banyak referensi untuk menghasilkan sebuah karya tulis. Dari sebuah berita di televisi, koran, maupun radio yang singkat dan padat itu, seorang penulis yang profesional mampu menghasilkan tulisan panjang berlembar-lembar. Isinya, sangat menarik dan tidak perlu didramatisir seperti koran-koran murah yang hanya sekedar membutuhkan sensasi untuk bisa lebih dikenal.
Sedang aku. Tentu saja aku berbeda dengan para penulis terkenal yang karyanya begitu banyak aku baca, atau hanya sesaat saja karena memang minat bacaku sangat rendah. Sama seperti manusia lainnya di negeri yang katanya indah ini.
Sedikit bercerita. Dari banyak karya tulis yang pernah aku hasilkan dan sedikit aku pamerkan dengan memuatnya di blog pribadi, semuanya atau bisa dikatakan sebagaian besar berasal dari diri sendiri.
Entah bertemakan cinta, kasih sayang, kesepian, kesuntukkan, kemarahan, kecemasan, kebosanan, atau malah keinginan untuk mengakhiri kehidupan ketika menghadapi masalah yang dianggap tidak memiliki jalan keluar. Semuanya berasal dari pengalaman diri sendiri.
Aku ngak tahu, apakah tulisan yang aku buat seperti tulisan Samuel Mulia yang setiap akhir pekan dimuat di media nasional dan menjadi rubrik tetap untuk dibaca. Di sana, sang penulis lebih banyak menyoroti diri sendiri serta memperlakukannya dengan mengambil satu tema yang ditemui dalam rentan satu minggu sebelumnya. Meskipun bisa dikatakan sama, mungkin itu hanya mimpi saja.
Aku tidak mengeluh. Aku hanya sedikit kecewa. Bayangkan dengan begitu banyak hal-hal yang sudah kualami serta aku dapatkan dari berbagai pengalaman serta alur kehidupan yang setiap hari berubah dan bertemu dengan banyak orang. Aku tidak bisa menghasilkan tulisan yang indah dan menarik untuk selalu dikenang banyak orang.
Kata orang, menulis itu mudah. Namun kenapa untuk aku menulis itu sangat sulit sekali. Memandang layar kosong di komputerku, aku tidak tahu harus mengisi dengan kata-kata apa untuk selanjutnya menceritakan tentang apa yang ada di dalam kepalaku ini. Aku sulit dan akan tetap merasa tidak mampu untuk menghasilkan tulisan yang indah dan akan selalu dikenang oleh banyak orang.
Mungkin, lewat tulisan ini aku akan temukan apa yang salah dalam diriku ini. Kenapa hanya diriku sendiri yang hanya bisa menulis dan menikmati tulisan hasil karya sendiri. Ya seperti kata orang, aku termasuk golongan orang yang suka ber-onani.
Jikapun kau bisa membantu, aku malah bertanya apa yang bisa kau bantu. Jika kau memberi nasehat, aku pun akan bertanya apakah aku akan bisa kau beri nasehat serta merubah hidupku.
Kawan coba kau pahami lagi aku dengan membaca tulisan dari atas hingga kebawah ini. Jika kau memang bisa menemukan solusi yang tepat untuk apa aku menulis tulisan ini. Aku mohon jangan bantu aku. Cukup hanya dengan tulisan saja kau sampaikan ke aku. Terima kasih.




KAYSER SOZE

Hitam-Putih


KAYSER SOZE

Selasa, 08 Maret 2011

Sebuah makam malam

Sekarang aku selalu berpikir apa yang akan aku katakan ketika sampai di dalam sana. Terus terang ini adalah pengalaman pertama bagiku dalam dunia mistik yang selalu menjadi rujukan sebagai besar masyarakat pulau ini.

Tatapan matanya setajam elang seperti biasa ketika mengajakku bicara. Dia tidak akan pernah melepaskan dari wajahku hingga aku menyatakan iya atau setuju dengan tindakan maupun ide yang selalu disampaikan kepadaku. Dan anehnya aku selalu manut laksana kerbau dicucuk hidungnya dengan tali.

Karena aku yakin semua ide dan tindakan yang dia rencanakan akan memiliki tujuan baik serta memberi arti bagi orang banyak.

“kita ke sana hanya memita ijin saja, tidak lebih. Coba kamu pikirkan, siapa yang ada di sana. Dia dulu adalah penguasa tunggal pulai ini yang dikenal sepanjang hayat sejarah sakti dan beristrikan bidadari yang setiap tahunnya meminta tumbal,” katanya saat aku berada di ruang kerjanya.

Baginya berangkat ke makam itu bertujuan sangat penting. Sebab dalam logika berpikirnya, selama ini kami, sebutlah dia, aku, kami, dan mereka itu saat ini sedang mencari makan di daerah ini. Sehingga wajar saja bila dalam tahun ke tiga ini kami merencanakan untuk berkunjung ke sana untuk meminta ijin agar kami diperkenankan mencari kehidupan di wilayah yang dulu dipimpimnya.

Tidak hanya sekedar meminta ijin, keberangkatan kita ke makam menjelang petang itu juga bertujuan untuk meminta berkah sang manta penguasa pulau ini agar dalam mencari nafkah kehidupan ini dijauhkan dari segala mara bahaya, rintangan, serta diberi kemudahaan.

“kita akan berangkat bersama dengan empat orang lainnya. Bagi saya ini adalah kedua kalinya ‘kami’ mengunjungi sesepuh penguasa wilayah untuk meminta ijin. Sebelumnya kita sudah berkunjung ke makam panembahan, dan saya rasa hasilnya sudah terlihat,” katanya menyakinkan dan aku pun mengiyahkan saja karena aku ingin merasakan pengalaman itu.

Satu lagi, sebelum aku keluar dari pintu ruang kerjanya, syarat yang harus aku pegang dan janjikan adalah jangan sampai kepergian ini disebarkan atau diceritakan kepada orang lain. Terutama yang berada dalam satu atap dan mencari kehidupan di perusahaan ini.

Singkat cerita, usai tidak adanya lagi pekerjaan yang harus diselesaikan, berangkatlah kita berlima orang dalam satu mobil. Jam menunjukkan pukul 15.00 wib saat kami bergerak ke arah timur dan sesudah lampu merah pertama berbeloklah mobil menuju gerbang yang orang sering namakan ‘menara gading’. Dari sini kami melewati jalan-jalan, yang terus terang saja belum sekalipun aku lewati, dan setelah kusadari menuju pusat makanan khas kota ini.

Lima belas menit dalam perjalanan, akhinya mobil merah itu pun berhenti di depan sebuah warung makanan khas yang setelah kusadari lagi ternyata berada tepat di sisi selatan gerbang melengkung seperti yang tadi aku lewati.

“aku harap kita menjaga segala omongan yang keluar dari mulut kita. Sebab orang ini selain terkenal sebagai orang yang hebat dalam spiritual, dia juga merupakan keturunan bangsawan yang hingga sekaranng masih dihormati masyarakat. Terutama dirimu, hormati beliau,” katanya sambil menunjuk aku.

Bagiku, perkataan yang barusan diucapkan memang wajar dan pantas dikeluarkan. Karena selama ini di atap perusahaan kami, aku terkenal paling blak-blakan dalam bicara tanpa peduli siapa yang kuhadapi. Entah itu meruapakn cacian kepada orang lain yang aku nilai salah, maupun pujian kepada rekan kerja yang dengan segala upayanya menghasilkan hasil yang terbaik. Ini adalah ciri khas daerah lahir dan besarklu.

Memasuki ruang tengah, ini adalah rumah tua yang aku duga sudah berusia ratusan tahun dan mendapatkan renovasi modern baik dari lantai maupun dindingnya, sudah terdapat beberapa orang yang lain yang kiranya mereka adalah tamu. Dalam hitunganku terdapat dua perempuan serta tiga cowok lainnya.

Kelima orang ini terlihat sangat fokus memperhatikan seorang wanita yang berada di pojok tengah mereka yang mendadak berhenti dan menyilahkan kami untuk duduk. Menanggapi sambutan dari tuan rumah, lantas kami menyapa tamu-tamu yang sudah datang duluan sambil tidak lupa menyebutkan nama. Mirip orang kenalan lah.

“terus terang saat ini saya sudah tidak merasa kebinggungan atau risau dengan material untuk menunjang kehidupan. Sebab kapanpun selalu saja ada orang atau kenalan yang dulu kita tolong mengirimkan uang dalam jumlah besar ke rekening kami tanpa diminta,” jelasnya ibu yang aku tidak ingin tahu namanya mulai bercerita di hadapan kami.

Menurutnya, selama ini kenalannya banyak yang berasal dari luar pulau dan kebanyakan mereka adalah para pejabat yang dulu saat meraih kekuasaannya meminta bantuan mereka. Selama ibu bercerita, daya pikirku menangkap satu hal yang selalu dia andalkan sebagai tanda bahwa dia adalah orang pintar, yaitu seorang pemimpin daerah di pulau borneo yang berhasil mendapatkan pendapatan daerah tertinggi seluruh negeri.

“anda pingin tahu kenapa dia bisa sukses, sebab selama masa pemilihan beliau selalu menuruti perkataan dan melaksanakan strategi yang sudah saya rencanakan bersama leluhur. Anda harus percaya bahwa kesuksesanya tidak terlepas dari usaha saya. Jika tidak percaya silahkan tanya,’ katanya sambil mempersilahkan kami meminum teh yang sudah ada di meja.

Disela-sela cerita panjangnya itu, terkadang, ibu yang seharusnya pantas aku panggi emak itu meminta suaminya yang aku lihat jauh lebih muda untuk menyiapkan segala persyaratan yang diperlukan sebelum berangkat. Baru aku tahu nama suaminya adalah Ki Sabdo Ungkoro.

Karena terus-menerus bercerita tentang kesuksesan dia membesarkan orang lain di wilayah lain. Tentu saja keisengannku pun muncul dengan mencoba melontarkan satu pertanyaan saja.

‘jika bisa menyukseskan orang diseberang, berarti peluang anda menyukseskan orang di sini lebih besar. Sudah pernah pemimpin baru di sini meminta bantuan anda?,” jelasku sambil tersenyum karena aku berpikir ini adalah pertanyaan yang mengelikan.

“ha ha ha ha, anda benar. Dan anda pun harus tahu bahwa saya malas memberi pelayanan kepada orang di sini. Tahu kenapa, sebab mereka kebanyakan tidak mau bayar atau paling meminta gratisan ke kita. Ogah aku dimintai tolong,” ujar ibu dan kemudian diikuti tawa lainnya.

Selama menunggu itulah, pembicaran selepas pertanyaan konyol itu mulai lancar dan tidak ada batasan lagi. Semua bebas bicara tentang politik, uang, hukum, demokrasi, dan tentu saja seks.

“maaf ya saya tidak bisa menemani, biar semuanya diurus sama suami saya. Meskipun dia berumur lebih muda, tapi bagi saya dia sudah tua dalam pemikiran dan ilmu. Percayalah,” ungkap perempuan bertubuh tambun itu saat kami berpamitan bergerak menuju komplek makam.

Beriring-iringan tiga mobil, kami lantas bergerak menuju ke arah selatan. Barulah di dalam mobil itu aku baru tahu, bahwa perempuan itu merupakan keturunan langsung dari raja ke enam daerah ini dan masih sangat dihormati.

Sekitar satu jam perjalanan, barulah kami memasuki area pemakaman yang dulu saat aku masih dilapangan merupakan tempat favoritku untuk menghilangkan stres dan beban pekerjaan dengan memandang jauh alam pendesaan di bawah yang hijau dan merekah. Mobil telah terparkir dengan rapi, kemudian kami pun memasuki pintu gerbang barat yang katanya dulu hanya dikhususkan untuk keluarga kerajaan.

“silahkan tuan, mau pesan seperti biasanya ya? Untuk berapa orang?” tanya salah satu penjaga warung yang dari pengamatanku sudah cukup akrap dengan ki sabdo. Usai menjawab pertanyaan itu, kami lantas dipersilahkan oleh penjaga lainnya untuk memasuki pintu gerbang pertama dari arah barat.

Kami bersepuluh dipersilahkan masuk ke dalam gapura dan memasuki salah satu rumah joglo lawas yang saling berhadapan. Kita menunggu di sini sambil menikmati makanan khas dan giliran untuk bisa sowan ke mbah, jelas ki sabdo memulai pembicaraan.

Dari mulut yang terlihat seperti sudah terlatih, sambil menikmati makanan yang datang, keluarlah berbagai kata bijak tentang bagaiaman masyarakat pulau ini seharusnya hidup. Bahwa dasarnya, kehidupan masyarakat ini tidak memerlukan nabi untuk membimbing hidup mereka untuk selalu berbuat baik. Sebab berbuat baik kepada sesama, menurutnya adalah suatu kewajaran yang wajib dilakukan semasa hidup manusia dimanapun dan kapanpun.

Berbagai petuah bijak telah keluar dari mulu orang yang mulai saat itu kami anggap sabagi salah satu guru spiritual yang memiliki tingkat ilmu yang tinggi. Meskipun kami baru sekali ini mengenalnya, menurut pandanganku.

Tapi anehnya, segala ucapan maupun perkataan yang diungkapkan langsung kami iyakan dan sekali lagi menurutku langsung dijadikan pedoman dalam melanjutkan perjalanan hidup ke depan.

Tidak terasa, sekarang sudah waktunya kami harus berganti pakaian yang diwajibkan ketika sowan di makam penguasa itu. Jam sudah menunjuukkan pukul 18.30 WIB ketika diperlihatkan alat komunikasiku ketika aku tekan tombol off.

“di kompleks makan ini, kita dilarang mengeluh maupun mengatakan sesuatu yang tidak wajar. Sebab nanti akan pamali. Dulu pernah ketika bersama seseorang naik melewati tangga, ada keluhan tentang kecapekan. Akibatnya kakinya lumpuh hingga dia meminta ampunan saat kembali ke sini lagi,” jelasnya sambil meminta kami untuk mengikuti langkag kakinya yang telanjang.

Tanpa bersuara, kami lantas berjalan beriringan mengikuti langkah ki sabdo yang lurus ke depan menembus pekat malam. Tak terhitung lagi berapa anak tangga yang harus dilewati saat melewati sekitar empat pintu gapura yang hampir sama bentuknya.

Ditengah malam langit tanpa bintang dan bulan sabit enggan bersinar sampailah kami di puncak bukit. Disanalah kiranya mantan penguasa pulau disemayamkan. Berlindung dalam sebuah rumah tua, dan dikelilingi ratusan makam lainnya.

Makamnya ibarat bulan purnama yang dikeliling ratusan bintang berpijar. Dia adalah benda yang kiranya banyak dipuja dan dihormati, meskipun kondisinya sudah tidak bergerak lagi.

Di sana, di kegelapan ruang yang diterangi sinar remang-remang, ternyata sudah ada sekelompok orang yang memiliki niatan sama dengan kami. Yaitu memuja atau meminta berkah darinya.

Lantas mulailah ritual malam itu dimulai. Ditemani angin yang senangtiasa berhembus di dalam benteng dan bulan yang enggan memberikan sinar, kami mulai melantunkan ayat-ayat suci yang sudah dilantunkan dari berabad lalu oleh masyarakat pulau ini.

Kurang lebih dua jam, kami disiksa dengan duduk bersilah. Akhirnya ritual awal ini pun berakhir dengan perasaan lega yang bagiku rasanya tak terkira. Seperti merasakan kebebasan ketika nanti keluar dari tempat gelap dan dianggap sakral ini.

Pintu utama perlahan dibuka. Satu persatu tamu yang datang dipersilahkan masuk dengan sebelumnya memberikan sembah sujud. Layaknya adat lama ketika abdi dalem menghadap sang raja.

Tibalah giliranku. Detak jantung berguncang hebat karena ini adalah yang pertama kali. Sama seperti kita akan memulai bercinta pertama kalinya dengan orang yang kita sayang.

Sembah hormat aku haturkan dengan tidak lupa meminta ijin memasuki ruang utama. Dari lorong yang sekilas itu, aku dipersilahkan memasuki ruang utama makam yang menurut perkiraanku berada di utara lorong.

Makam itu biasa saja, menurutku, sama dengan makam batu lainnya yang banyak bertebar di sekitar area itu dan kawasan daerah ini. Bedanya, di atas pusara batu hitam itu ratusan kelompak dari berbagai bunga bertabur dan menciptakan kewangian sakral tersendiri. Tidak hanya itu, baik dinding maupun atap makam itu terselimuti kain suci berwarna putih.

Usai menghaturkan apa yang semula menjadi tujuan kami berlima. Akhirnya kami dipersilahkan untuk sembah hormat kembali kepada sebuah tanah bercela yang berada di sisi kiri pusara.

Awalnya aku bertanya untuk apa ini. Meskipun banyak pertanyaan dan hampir pasti ketidak percayaan, tapi sembah hormat itu tetap aku lakukan.

Setelah hidungku dekat dengan tanah, kuhirup udara yang keluar dari cela tanah itu. Aneh wangi merasuki saluran nafaskuhingga ke dalam dadaku. Aku tak percaya.

Kuhirup lagi, hal itu terjadi lagi. Dan untuk terakhir kalinya, wangi yang muncul dari celah tanah itu masih ada dan bertambah kuat serta mengairahkanku. Karena baru pertama kali ini aku menciumnya. Semua harus diakhiri dan aku pun harus keluar dengan cara yang sama ketika masuk tadi.

“di batu pipih inilah, dulu sang penguasa pulau ini bercinta dengan penguasa laut di sisi selatan yang terkenal cantik dan mandraguna itu. Di sini pulalah sebenarnya puncak tertinggi bukit ini, karena ke arah selatan akan terlihat permukaan lautan selatan,” jelas ki sabdo sambil mengajak kami menuruni anak tangga.

Setelah berganti baju, kami pun duduk mengeliling ki sabdo seperti saat kami masuk tadi. Tidak banyak yang aku dengar dan aku perhatikan dalam wejangan yang disampaikannya. Karena aku sudah tidak fokus dan dihati sudah mulai muncul ketidak percayaan lagi.

Tiba-tiba, dia yang merupakan pimpinan dari kami mengajak pulang karena ada pekerjaan berat yang harus diselesaikan. Dan kami berlima pulang terlebih dahulu meninggalkan kelima orang lainnya mendengar wejangan ki sabdo.

“tadi adalah pengalaman sipiritualku yang mengesankan seumur hidup. Sebab tidak sembarang orang bisa masuk ke makam sana. 40 tahun hidup di sini baru pertama kali aku masuk ke sana,” jelas salah satu dari kami.

Pengalaman hebat karena baru pertama kali masuk makam besar di malam hari, itu memang benar mengesankan. Dan aku tidak pungkiri itu. Namun tidak semua orang bisa masuk. Ehm perlu dipertanyakan lagi.

Dari kantor, aku langsung bergegas pulang. Sebab sudah tidak ada lagi yang perlu dibicarakan dengan mereka. Masalah pekerjaan, itu bisa dibicarakan esok hari.

“ini pengalaman spiritual yang tidak bisa kulupakan. Dan kamu tahu, tidak sembarang orang tidak diperkenankan masuk ke dalam makam jika bukan kerabat keturunan sang penguasa,” jelasnku bersemangat menceritakan pengalaman mengesankanku itu.

Istriku pun hanya tertawa. Dia lantas menanyakan tentang tradisi jalan jongkok dari pintu gerbang pertama. Aku kaget, sebab tadi tidak ada ritual semacam itu.

“oh jadi sekarang tradisi itu sudah hilang. Berarti sekarang ritual seperti itu sudah mulai diperdagangkan segelitir orang yang mengaku kerabat keturunan mantan penguasa itu. Beda saat aku sering berkunjung saat sekolah menengah dulu,” kata istriku.

Aku terkejut mendengar perkataannya itu. Dia lantas menceritakan jika hanya masuk ke makam saja ngak usah binggung-binggung mengajak kerabat keturunan sang penguasa. Cukup kakak ipar saja sekarang di kota sebelah untuk mengantarkan.

“bukan berarti rugi memberikan sejumlah uang dalam jumlah yang tidak terlalu kecil kepada mereka. Sebab kamu dan temanmu sudah mendapatkan pengalaman spiritual yang mengesankan,” katanya sambil tersenyum dan meninggalkanku.

Selesai, 10-10-10



KAYSER SOZE

Kepada Desi

Aku selalu bertanya
Hidupku ini untuk apa
Dan jika bermakna, apakah artinya pesan

Perlahan, aku membuka jendela hati
Sekian lama tertutup dan akan berakhir membeku
Hangatnya membuatku semakin tersenyum
Kaupun turut tersenyum

Aku paham
Hadirmu tidak memberi banyak arti
Tapi hadirmu memberiku banyak hati

Dengan cahyamu, kau usap aku
Dengan hangatmu, kau bangunkan aku

Bolehkan aku menyebutmu mentariku
Atau jika kau tidak keberatan
Ijinkan aku memanggilmu istri-ku

Sudah lama tidak kurasakan kehangatan yang penuh cinta ini
Biasanya hanya pelukan tanpa rasa
Hanya sekedar pelukan yang berujung duka

Istriku
Aku ternyata mampu mencintaimu

Istriku
Aku mohon kau jangan tingalkan aku

Istriku
Ku serahkan hidupku untukmu


Mungil, 8/2/11



KAYSER SOZE

Sisi lain Porwada pertama di Indonesia

Berita yang utama, medali berikutnya
Dalam sebuah surat yang dikirimkan untuk putrinya saat menjadi tahanan politik di Pulau Buru, Pramoedya Ananta Toer berpesan agar selalu menjaga kesehatan jiwa dan raga dengan rutin berolahraga. Karena bagaimanapun juga,tanpa adanya kesehatan jiwa dan raga maka apalah artinya kepintaran yang dimiliki seseorang.
Namun sekarang ini kiranya pesan itu tidak akan banyak dilakukan serta dipahami banyak orang. Terlebih lagi di kalangan wartawan yang sedang mengikuti ajang Pekan Olah Raga Wartawan Daerah (Porwada) yang diselenggarakan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) DIY.
Dengan rutinitas pekerjaan yang bisa memakan waktu hingga 24 jam lebih, banyak wartawan tidak terlalu instens untuk berolahraga menjaga kesehatan. Waktu luang kebanyakan dipergunakan untuk berkumpul dengan keluarga karena memang sangat jarang.
Jikapun ada mau berolahraga, itupun dalam kondisi dipaksa agar tetap berkeringat untuk mengeluarkan kalori.
Bagi mereka,selain tetap mengikuti Porwada pekerjaan dan tugasnya mencari serta menyebarkan informasi, berita tetap menjadi nomor satu. Sedangkan untuk medali yang diperebutkan, itu nomor sekian.
Hal itulah yang kiranya terjadi di atletik yang turut diperlombakan khususnya di lari jauh diatas 35 tahun. Subchan Mustafa, salah redaktur Kedaulatan Rakyat rela tidak ikut bertanding, padahal peluang mendali sangat besar karena hanya diikuti tiga peserta.
“Selain kelelahan karena paginya sudah tanding voli, sore ini saya harus piket di kantor. Dan ini tidak bisa ditinggal, biarlah ngak dapat mendali,”jelasnya.
Tidak hanya itu, dengan keterbatasan peserta. Maka hampir kesemua peserta harus merangkap tampil dalam sembilan cabang olah raga yang diperlombakan.
Sehingga bisa dibayangkan, dengan jadwal pertandingan yang sangat padat selama seminggu penuh. Peserta Porwada harus memiliki ketahanan tubuh luar biasa untuk bisa tampil di perlombaan yang diikutinya jika jadwalnya disusun dalam satu hari.
Ini belum lagi dengan, kewajiban untuk menyetorkan berita sesuai target. Betapa mereka harus menyiapkan fisik yang prima dan energi yang besar.
Jadi wajar saja jika banyak wartawan yang memanfaatkan momentum sambil menyelam minum air. Yang berarti selain mengikuti ajang olah raga untuk mencoba meraih prestasi, sekali juga dijadikan sumber berita.
“Karena tidak bisa keliling karena harus tampil seharian penuh, ya otomatis pertandingan voli dan atletik yang tadi diikuti dijadikan berita dab he he he,” jelas Miftahudin, wartawan bidang olah raga Radar Yogja.
Demikian juga dengan wartawan foto, usai berlaga mereka juga turut berlomba dalam mencari gambar terbaik untuk bisa disajikan kepada pembaca di ajang yang sama.
Tidak hanya kalangan wartawan saja yang harus menyetorkan berita, kalangan redaktur yang biasanya berada di kantor juga harus bisa mengedit berita di tengah pertandingan yang tidak bisa ditinggalkan.
Ibnu Taufik, Redaktur Tribune Jogja, harus rela menerima kekalahan keduanya dalam pertandingan bilyar yang tidak bisa ditinggalkan. “Biasa, tadi harus fokus mengedit berita rekan-rekan agar bisa segera dimuat, jadi kosentrasi buyar,” katanya.
Karena kondisi seperti inilah maka dapat dipastikan selama pelaksanaan Porwada yang dimulai Senin (14/2) dan berakhir Minggu (20/2) sore, kita akan menemui berbagai kejadian menarik. Di mana di tengah para rekannya berebut mendali dalam sebuah cabang olah raga, banyak wartawan yang memanfaatkan untuk menulis berita.
Diikuti sekitar 385 wartawan dari satu kota dan empat kabupaten di DIY, Porwada yang baru pertama kali digelar di Indonesia ini selain untuk mencari bibit-bibit atlit dari kalangan wartawan untuk diikutkan dalam Pekan Olah Raga Wartawan Nasional (Porwanas) dua tahun lagi.
Ajang ini juga digunakan sebagai ajang reuni serta kumpul-kumpul awak media yang memang jarang sekali terjadi kecuali peristiwa kematian ataupun pernikahan, itupun tidak semuanya hadir.
“Urusan medali ataupun prestasi, saya pikir itu sesuatu yang dipikirkan belakangan. Karena memang hakekatnya ajang ini memang bertujuan menjadi wadah berkumpul kuli tinta yang memang sehari-hari sangat jarang terjadi,”jelas Sugiarto, wartawan Suara Merdeka, yang juga Ketua Seksi Olah Raga Bilyar.
Karena memang dipergunakan sebagai temu kangen, maka dapat dipastikan dalam setiap pertandingan dapat dipastikan penuh canda dan berbagai cerita ketika mereka masih kumpul bersama, baik di lapangan maupun di sebuah media.
Menariknya, selain penuh dengan rasa canda dan kekeluargaan, serta kewajiban pekerjaan di tengah padatnya jadwal pertandingan. Sportifitas untuk menjadi dan menampilkan kemampuan yang terbaik tetap ditunjukkan para atlit.
Dalam sebuah perbincangan, Janu Rianto, Ketua Sie Wartawan Olah Raga (SIWO) PWI juga Ketua Pelaksana Porwada menyatakan karena baru pertama kali dilaksanakan, diharapkan ajang ini bisa menjadi virus pada daerah lain di Indonesia.
“Harapan terbesar kami, dari ajang olah raga yang diikuti, kalangan wartawan kembali melakukan aktifitas berolah raga di tengah kesibukan yang tinggi. Karena memang olah raga itu sangat penting,”jelasnya.
Diakui dalam pelaksanaan sepekan kemarin, panitia menilai banyak kekurangan namun secara keseluruhan berlangsung dengan sukses. Begitu istimewanya ajang yang bisa mengumpulkan hampir seluruh wartawan di DIY. Dalam upacara pembukaan, jawaban “Salam Olah Raga” yang seharusnya dijawab dengan “Jaya” diganti dengan “Istimewa”.


KAYSER SOZE